Mari Berusaha, Berdo'a Kemudian Tawakal

Saya Hanya Manusia Biasa

Selasa, 03 November 2020

KARAKTERISASI MORFOLOGIS Trichoderma spp. INDIGENUS

JURNAL AGROTEKNOS Juli 2014
Vol. 4 No. 2. Hal 87-93
ISSN: 2087-7706
 
KARAKTERISASI MORFOLOGIS Trichoderma spp. INDIGENUS
 
SULAWESI TENGGARA
Morphological Characterization Trichoderma spp . Indigenous
Southeast of Sulawesi
GUSNAWATY HS
*)
, MUHAMMAD TAUFIK, LENI TRIANA, DAN ASNIAH
 
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari
ABSTRACT
This study aimed to determine differences in the morphological characteristics of
isolates of Trichoderma spp indigenous of Southeast Sulawesi. The experiment was
conducted at the Laboratory of Agro Technology, Unit of Plant Pest and Disease, Faculty of
Agriculture, University of Halu Oleo, Kendari.  This study used 11 isolates of trichoderm
indegenous of Southeast Sulawesi. Observation variables were macroscopic characteristics,
including: colony color and form, and microscopic characteristics, including: form of
conidiophores, fialid and and conidia.  The research results showed that the 11 isolates of
Trichoderma spp indigenous of Southeast Sulawesi had different morphological
characteristics. Types of  Trichoderma spp obtained out of the 11 isolates were T. hamantum,
T. koningii, T. harzianum, T. polysporum and T. aureoviride.
Keywords : characterization, indigenous Southeast of Sulawesi, Trichoderma spp.
 
 
1
PENDAHULUAN
 Cendawan Trichoderma sp. merupakan
mikroorganisme tanah bersifat saprofit yang
secara alami menyerang cendawan patogen
dan bersifat menguntungkan bagi tanaman.
Cendawan Trichoderma sp. merupakan salah
satu jenis cendawan  yang banyak dijumpai
hampir pada semua jenis tanah dan pada
berbagai habitat yang merupakan salah satu
jenis cendawan yang dapat dimanfaatkan
sebagai agens hayati pengendali patogen
tanah. Cendawan ini dapat berkembang biak
dengan cepat pada daerah perakaran
tanaman.
 Spesies Trichoderma sp. disamping sebagai
organisme pengurai, dapat pula berfungsi
sebagai agens hayati. Trichoderma sp. dalam
peranannya sebagai agens hayati bekerja
berdasarkan mekanisme antagonis yang
dimilikinya (Wahyuno et al., 2009).
Purwantisari (2009), mengatakan bahwa
Trichoderma sp. merupakan cendawan parasit
yang dapat menyerang dan mengambil nutrisi
                                                             
*)
 Alamat korespondensi:
   Email : gusna_hs@yahoo.co.id
dari cendawan lain. Kemampuan dari
Trichoderma sp. ini yaitu mampu memarasit
cendawan patogen tanaman dan bersifat
antagonis, karena memiliki kemampuan untuk
mematikan atau menghambat pertumbuhan
cendawan lain.
 Mekanisme yang dilakukan oleh agens
antagonis Trichoderma sp. terhadap patogen
adalah mikoparasit dan antibiosis selain itu
cendawan Trichoderma sp. juga memiliki
beberapa kelebihan seperti mudah diisolasi,
daya adaptasi luas, dapat tumbuh dengan
cepat pada berbagai substrat, cendawan ini
juga memiliki kisaran mikroparasitisme yang
luas dan tidak bersifat patogen pada tanaman
(Arwiyanto, 2003). Selain itu, mekanisme yang
terjadi di dalam tanah oleh aktivitas
Trichoderma sp. yaitu kompetitor baik ruang
maupun nutrisi, dan sebagai mikoparasit
sehingga mampu menekan aktivitas patogen
tular tanah (Sudantha et al., 2011).
 Kemampuan masing-masing spesies
Trichoderma sp. dalam mengendalikan
cendawan patogen berbeda-beda, hal ini
dikarenakan morfologi dan fisiologinya   
berbeda-beda (Widyastuti, 2006). Beberapa
spesies Trichoderma sp. telah dilaporkan
88 GUSNAWATY ET AL.  J. AGROTEKNOS
sebagai agens hayati adalah T. harzianum, T.
viridae, dan T. koningii yang tersebar luas pada
berbagai tanaman budidaya (Yuniati, 2005).
Beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa
Trichoderma sp. dapat mengendalikan patogen
pada tanaman diantaranya Rhizoctonia oryzae
yang menyebabkan rebah kecambah pada
tanaman padi (Semangun, 2000), Phytopthora
capsici penyebab busuk pangkal batang pada
tanaman lada (Nisa, 2010), dan dapat
menekan kehilangan hasil pada tanaman
tomat akibat Fusarium oxysporum (Taufik,
2008).
 Penggunaan agens hayati dalam
pengendalian penyakit tumbuhan bersifat
spesifik. Erwanti (2003) menyatakan bahwa,
pengendalian hayati bersifat spesifik lokal
yaitu mikroorganisme antagonis yang
terdapat di suatu daerah hanya akan
memberikan hasil yang baik di daerah asalnya.
Telah dilaporkan bahwa isolat Trichoderma
sp. yang berasal dari Kalimantan Selatan
memiliki kemampuan yang lebih baik untuk
mengendalikan penyakit hawar pelepah daun
padi dibandingkan dengan isolat Trichoderma
sp. asal Yogyakarta di lahan pasang surut
daerah Kalimantan Selatan (Prayudi et al.,
2000). Hal tersebut membuktikan bahwa
isolat lokal (Indigenos) memiliki kemampuan
adaptasi yang tinggi dan berpotensi yang lebih
baik dalam menekan patogen yang terdapat di
daerah asalnya dibanding menggunakan isolat
yang berasal dari daerah lain.
 
 Faulika (2013) dan Herman (2013) telah
mendapatkan 11 isolat Trichoderma spp. dari
hasil eksplorasi dan menguji kemampuannya
sebagai agens hayati secara in vitro, namun
spesies dari setiap isolat tersebut belum
diketahui. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian tentang karakterisasi morfologis
Trichoderma sp. indigenos Sulawesi Tenggara
untuk mengetahui spesies dari isolat tersebut.
METODE PENELITIAN
 Peremajaan isolat Trichoderma spp.
indigenos Sulawesi Tenggara. Sebelas isolat
Trichoderma spp. yang sudah diperoleh dari
hasil penelitian Faulika (2013) dan Herman
(2013) ditumbuhkan kembali pada media PDA
dan diinkubasi selama 7 hari. Isolat murni
yang berumur 7 HSI selanjutnya dilakukan
pengenceran 10
-5
 lalu disebar pada media PDA
baru dengan tujuan untuk mendapatkan
koloni tunggal Trichoderma sp., kemudian
diperbanyak dengan cara mengambil 1 corp
borrer setiap isolat dibiakan pada media PDA
dan diinkubasi selama 7 hari, setiap isolat
diulang sebanyak 3 kali dan setiap ulangan
ada 3 unit sehingga keseluruhan menjadi 99
unit penelitian.
Berikut ke-11 isolat Trichoderma indigenos
Sulawesi Tenggara yang akan dikarakteristik
berdasarkan morfologinya dapat dilihat pada
Tabel 1
.
Tabel 1. Sumber Isolat Trichoderma spp indigenos Sulawesi Tenggara (Faulika, 2013 dan Herman, 2013)
No. Kode Isolat Lokasi (Desa/Kec/Kab) Vegetasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
ASL
DKP
DPA
DKT
APS
LPS
LKO
BPS
LKP
LTB
LKA
Asunde/Besulutu/Konawe
Duriasi/Konawe
Duriasi/Konawe  
Duriasi/Konawe
Ameroro/Konawe
Loea/Tirawuta/Kolaka
Lapai/Ngapa/Kolut
Baruga/Watubangga/Konawe
Loea/Tirawuta/Kolaka
Lamooso/Konsel
Leleuta/Ngapa/kolut
Lada
Kacang Panjang
Paria
Ketimun
Padi Sawah
Padi sawah
Kakao
Padi sawah
Kacang Panjang
Tebu
Kakao


Identifikasi isolat cendawan Trichoderma
spp.. Pengamatan morfologi isolat yang
diperoleh dilakukan secara makroskopis dan
mikroskopis. Menurut Kartika (2012), bahwa
karakterisasi (identifikasi) morfologi
cendawan dilakukan atas dasar karakteristik
pemurnian melalui kultur koloni tunggal.
Pembuatan kultur spora tunggal menurut
Vol. 4 No.2, 2014  Karakterisasi Morfologis Trichoderma Spp. Indigenus 89
Tamin et al., (2012), bertujuan untuk
mendapatkan spora yang berasal dari satu
jenis yang sama. Karakterisasi morfologi
cendawan Trichoderma sp. mengacu pada
buku identifikasi Watanabe (2002) dan
Domsch et al., (1980). Secara makroskopis
meliputi bentuk, warna koloni dan diameter
pertumbuhan cendawan Trichoderma sp..
Pengamatan dilakukan setiap hari selama 7
hari pada biakan cendawan Trichoderma sp.,
sedangkan secara mikroskopis yang diamati
meliputi bentuk konidiofor, fialid dan konidia
dengan metode mikrokultur (slide culture).
Adapun prosedur dalam pembuatan
mikrokultur (slide culture) untuk identifikasi
cendawan secara mikrokopis, yaitu:  cawan
Petri disiapkan dengan bagian dalamnya
diberi tissue berbentuk bundar (Φ 9 cm).
Aquades steril diteteskan pada bagian tissue
dalam cawan petri untuk memberikan
 
kelembaban yang optimum bagi pertumbuhan
jamur. Pada bagian atas tissue tersebut
diletakkan dua buah pipet, selanjutnya di atas
pipet tersebut diletakkan sebuah kaca objek
yang diberi 1 tetes jus jeruk dan ditumbuhkan
spora  cendawan Trichoderma spp. kemudian
ditutup dengan kaca penutup. Mikrokultur
tersebut diinkubasi dalam suhu ruangan
selama 3 hari, dilakukan pengamatan
menggunakan mikroskop dan selama
pengamatan selalu dijaga kelembapannya
dengan menambahkan aquades steril apabila
tissue mulai mengering.
HASIL DAN PEMBAHASAN
 Karakterisasi Trichoderma spp. secara
makroskopis meliputi warna koloni dan
bentuk koloni yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan warna koloni selama 7 hari dan bentuk koloni setiap isolat
Waktu Pengamatan Ke- HIS

1 2 3 4 5 6 7
 
ASL Putih Putih
Putih
kuning agak
kehijauan
Putih
Kuning
agak
kehijauan
Hijau
muda agak
kekuningan
Hijau
muda agak
kekuningan
Hijau
kekuningan
Bulat
DKP Putih
Putih agak
kehijauan
Putih
kehijauan
Hijau
muda
Hijau
Muda
Hijau Hijau tua Bulat
DPA Putih
Putih agak  
kehijauan
Putih
kehijauan
Hijau
muda
Hijau
Muda
Hijau Hijau tua Bulat
DKT Putih Putih
Putih agak
kehijauan
Hijau
muda
Hijau
Muda
Hijau Hijau tua Bulat
APS Putih Putih
Putih agak
kehijauan
Hijau
muda
Hijau
Muda
Hijau Hijau tua Bulat
LPS Putih
Putih agak   
kehijauan
Putih
kehijauan
Hijau
muda
Hijau Hijau Hijau tua Bulat
LKO Putih Putih
Putih
kehijauan
Hijau
muda
Hijau Hijau Hijau tua Bulat
BPS Putih
Putih agak  
kehijauan
Putih
kehijauan
Hijau
muda
Hijau Hijau Hijau tua Bulat
LKP Putih
Putih agak   
kehijauan
Putih hijau
kekuningan
Putih hijau
kekuningan
Putih hijau
agak
kekuningan
Hijau Hijau tua Bulat
LTB Putih Putih
Putih agak
kehijauan
Hijau
muda
Hijau Hijau Hijau tua Bulat
LKA Putih
Putih agak
kehijauan
Putih agak  
kehijauan
Hijau
muda
Hijau Hijau Hijau tua Bulat

Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 11
isolat Trichoderma spp. indigenos Sulawesi
Tenggara yang dikarakterisasi berdasarkan
morfologinya terjadi perkembangan warna
koloni yang berbeda dari hari ke-1 sampai
hari ke-7. Perkembangan warna koloni diawali
Isolat
 
Bentuk
Koloni
90 GUSNAWATY ET AL.  J. AGROTEKNOS
dengan warna putih, putih agak kehijauan,
hijau muda, hijau dan hijau tua setelah umur 7
hari, namun pada isolat ASL warna koloni
yang terlihat dari hari ke-3 hingga ke-7
terdapat warna kekuningan, sedangkan pada
isolat LKP warna kekuningan hanya terlihat
 
sampai hari ke-5. Koloni yang terbentuk dari
semua isolat adalah bulat.
 Karakterisasi secara mikroskopis yakni
bentuk konidiofor, fialid dan konidia (Tabel. 3)
menggunakan buku identifikasi Watanabe
(2002) dan Domsch et al., (1980)
Tabel 3. Spesies Trichoderma sp. dari 11 isolat berdasarkan bentuk konidiofor, fialid dan konidia
No. Spesies Isolat
Mikroskopis
Konidiofor
Fialid
Konidia
1. T.  hamantum ASL
Tegak,
bercabang
Pendek, tebal Oval
2. T. koningii DKP, DPA, DKT, APS
Tegak,  
bercabang
Kecil, lancip Oval
 
3. T. harzianum LPS, LKO, BPS
Tegak,  
bercabang
Pendek, lebih
tebal
Oval
4. T. polysporum LKP Bercabang
Panjang,  
luas
Oval
5. T. aureoviride LTB, LKA Bercabang
Pendek, tebal,
vertikal
Oval
 
 Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 11 isolat
Trichoderma spp. diperoleh lima spesies yang
berbeda yaitu T. hamantum T. koningii T.
harzianum T. polysporum T. aureoviride
.  
 
Gambar 1.  Trichoderma hamantum; (a) koloni pada media PDA, (b) konidiofor, (c) fialid, dan (d) konidia
(Sumber: Data primer)
 Gambar 1 menunjukkan bahwa isolat
tersebut memiliki bentuk konidiofor yang
dikembangkan pada struktur bantal
berbentuk tegak, bercabang yang tersusun
vertikal. Fialid pendek dan tebal, konidia hijau
muda, berdinding halus dan berbentuk oval.
Koloni pada media PDA berwarna putih
awalnya, kemudian hijau kekuningan dan
berbentuk bulat. Koloni pada media PDA
mencapai diameter lebih dari 7 cm dalam
waktu lima hari. Isolat tersebut sesuai dengan
karakteristik Trichoderma hamantum
(Watanabe, 2002; Domsch et al.,1980).
 
a
b
c d
Vol. 4 No.2, 2014  Karakterisasi Morfologis Trichoderma Spp. Indigenus 91
 
 
Gambar 2.  Trichoderma koningii (a) koloni pada media PDA, (b) konidiofor, (c) fialid, dan (d) konidia
(Sumber: Data primer)
 Gambar 2 menunjukkan bahwa isolat
tersebut memiliki bentuk konidiofor tegak,
bercabang tersusun vertikal. Fialid lancip ke
arah puncak dan konidia berdinding halus dan
kasar berwarna hijau berbentuk oval. Koloni
pada media PDA mencapai lebih dari 5 cm
dalam waktu 5 hari dan koloninya berwarna
hijau serta berbentuk bulat. Karakter tersebut
sesuai dengan karakteristik Trichoderma
koningii (Watanabe, 2002; Domsch et al.,
1980).
 
Gambar 3. Trichoderma harzianum; (a) koloni pada media PDA, (b) konidiofor, (c) fialid, dan (d) konidia
(Sumber: Data primer)
 Gambar 3 menunjukkan bahwa isolat
tersebut memiliki bentuk konidiofor tegak,
bercabang yang tersusun vertikal. Fialid
pendek dan tebal. Konidia hijau dan berbentuk
oval. Koloni pada media PDA berwarna hijau
tua dan berbentuk bulat. Diameter koloni
mencapai lebih dari 9 cm dalam waktu 5 hari.
Karakter dari isolat tersebut menunjukkan
karakteristik Trichoderma harzianum
(Watanabe, 2002; Domsch et al.,1980).
 
 
Gambar 4.  Trichoderma polysporum: (a) koloni pada media PDA, (b) konidiofor, (c) fialid, dan (d) konidia
(Sumber: Data primer)
b
c
d
a
c
b
d
c
b
d
a
a
92 GUSNAWATY ET AL.  J. AGROTEKNOS
 
 
Gambar 5.  Trichoderma aureoviride; (a) koloni pada media PDA, (b) konidiofor,     (c) fialid, dan (d)
konidia (Sumber: Data primer).
 Gambar 4 menunjukkan bahwa isolat
tersebut memiliki bentuk konidiofor
bercabang dan berakhir steril. Fialid relatif
luas, konidia pendek berdinding halus
berwarna hijau dan berbentuk oval. Koloni
pada media PDA berwarna hijau tua dan
tumbuh relatif lebih lambat, ukurannya
mencapai 7 cm dalam waktu 10 hari. Isolat
tersebut sesuai dengan karakteristik
Trichoderma polysporum (Domsch et al.,1980).
 Gambar 5 menunjukkan bahwa isolat
tersebut memiliki bentuk konidiofor
bercabang. Massa spora (konidium) berada
pada setiap fialid. Fialidnya vertikal, pendek
dan tebal. Konidia hijau dan berbentuk oval.
Koloni pada media PDA berwarna hijau tua,
permukaannya lembut dan berbentuk bulat.
Isolat tersebut sesuai dengan karakteristik
Trichoderma aureoviride (Watanabe, 2002).
 Berdasarkan hasil pengamatan
karakterisasi morfologis dari 11 isolat
Trichoderma spp. indigenos Sulawesi
Tenggara menunjukkan bahwa terdapat lima
spesies Trichoderma dengan karakter yang
berbeda baik secara makroskopis maupun
secara mikroskopis. Hal ini dijelaskan
berdasarkan buku identifikasi dari Watanabe
(2002) dan Domsch et al., (1980) yang
menyatakan bahwa Trichoderma sp.
mempunyai konidiofor bercabang menyerupai
piramida yaitu pada bagian bawah cabang
lateral yang berulang-ulang, sedangkan
semakin ke ujung percabangan menjadi
bertambah pendek. Fialid tampak langsing
dan panjang terutama pada aspek dari cabang,
konidia berbentuk semi bulat hingga oval.
Konidia yang berdinding halus, koloni mulamula

berwarna putih lalu menjadi kehijauan
dan selanjutnya setelah dewasa miselium
memiliki warna hijau kekuningan atau hijau
tua terutama pada bagian yang menunjukkan
banyak terdapat konidia.
 Berdasarkan buku identifikasi Watanabe
(2002) dan Domsch et al., (1980), diketahui
bahwa dari 11 isolat trichoderma indegenus
Sulawesi tenggara terdiri atas lima spesies
yaitu T. hamantum, T. koningii, T. harzianum,
T. polysporum dan T. aureoviride. Secara
makroskopis warna koloni dari semua spesies
tersebut diawali dengan warna putih,
kemudian berkembang menjadi putih agak
kehijauan, hijau muda, hijau dan hijau tua,
namun pada T. hamantum terdapat warna
kekuningan hingga ke-7 HSI, tetapi warna
kekuningan pada T. polysporum hanya terjadi
hingga hari ke-5, sedangkan untuk T. koningii,
T. harzianum dan T. aureoviride
perkembangan warna koloni yang terjadi
hamper sama. Semua spesies tersebut
memiliki bentuk koloni yang sama yaitu bulat.
Hal ini didukung oleh pernyataan Rifai (1996)
bahwa sebagian besar anggota dari genus
Trichoderma membentuk koloni yang
mempunyai warna yang berbeda dan
membentuk koloni dengan zona lingkaran
yang terlihat dalam cahaya.
 Karakteristik morfologis secara
mikroskopis lima spesies Trichoderma yang
diperoleh dapat dibedakan berdasarkan
bentuk konidiofor, fialid dan konidia. Bentuk
konidiofor yang sama yaitu tegak dan
bercabang tersusun secara vertikal terdapat
pada T. hamantum, T. koningii dan T.
harzianum. tetapi pada T. hamantum memiliki
fialid pendek dan tebal serta konidia
berdinding halus dan berbentuk oval,
sedangkan pada T. koningii fialid yang
terbentuk lancip ke arah puncak dan dinding
konidia ada yang kasar, berbeda dengan T.
harzianum yang memiliki fialid pendek dan
c b
d
a
Vol. 4 No.2, 2014  Karakterisasi Morfologis Trichoderma Spp. Indigenus 93
lebih tebal serta konidia berwarna hijau da
berbentuk oval, sedangkan pada T. Polysporum
memiliki bentuk konidiofor bercabang dan
berakhir steril serta fialidnya relatif luas,
berbeda dengan T. aureoviride memiliki
bentuk konidiofor bercang pada setiap fialid
terdapat konidium, dan fialidnya berbentuk
vertikal, pendek dan tebal.  
 
SIMPULAN  
 Berdasarkan hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa semua isolat Trichoderma
spp. indigenos dari beberapa daerah Sulawesi
Tenggara memiliki perbedaan karakteristik
morfologis sehingga jenisnya berbeda.
Terdapat lebih dari satu spesies yang
diperoleh dari 11 isolat Trichoderma spp.
indigenos sulawesi Tenggara. Spesies yang
diperoleh yaitu T. hamantum, T. koningii, T.
harzianum, T. polysporum dan T. aureoviride.  
DAFTAR PUSTAKA
Arwiyanto T. 2003.  Pengendalian hayati penyakit
layu bakteri tembakau. Jurnal Perlindungan
Tanaman Indonesia 3(1): 54-60.
Domsch KH, Gams W and Anderson TH. 1980.
Compendium of Soil Fungi. Volume 1. Academic
Press, London.
Erwanti, Mardius Y, Habazar T dan Bachtiar A.
2003. Studi kemampuan isolat-isolat jamur
Trichoderma spp. yang beredar di Sumatra
Barat untuk mengendalikan jamur patogen
Sclerotium roflsii pada bibit cabai. Prosiding
Kongres Nasional XVI dan Seminar Ilmiah PFI,
22-24 Agustus 2003. Bogor.
Faulika. 2013. Uji potensi trichoderma indigenos
Sulawesi Tenggara sebagai biofungisida
terhadap Phytophthora capsici dan Fusarium
oxysporum secara in-vitro [Skripsi]. Fakultas
Pertanian, Universitas Halu Oleo, Kendari  
Herman. 2013. Uji potensi Trichoderma indigenos
Sulawesi Tenggara sebagai biofungisida
terhadap Colletotrichum sp. dan Sclerotium
rofslii secara in-vitro [Skripsi]. Fakultas
Pertanian. Universitas Halu Oleo. Kendari
Kartika E, Lizawati dan Hamzah. 2012. Isolasi,
Iidentifikasi dan pemurnian Cendawan
Mikoriza Arbuskular  (CMA) dari tanah bekas
tambang batu bara. Program Studi
Agroekoteknologi. Fakultas Pertanian,
Universitas Jambi, ISSN: 2302-6472. Vol. 1:4.
Nisa NK. 2010. Isolasi Trichoderma spp. Asal tanah
dan aktivitas penghambatannya terhadap
pertumbuhan Phytopthora capsici penyebab
penyakit busuk pangkal batang lada. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.  
Prayudi B, Budiman A, Rystham MA dan Rina Y.
2000. Trichoderma harzianum isolat
Kalimantan Selatan agensia pengendali hawar
pelepah daun padi dan layu semai kedelai di
lahan pasang surut. Prosiding Simposium
Penelitian Tanaman Pangan IV. Banjar Baru.
Purwantisari S. 2009. Isolasi dan identifikasi
cendawan indigenous rhizosfer tanaman
kentang dari lahan pertanian kentang organik
di Desa Pakis. Magelang. Jurnal BIOMA. ISSN: 11
(2): 45.
Rifai M, Mujim S dan Aeny TN. 1996. Pengaruh
lama investasi Trichoderma   viride terhadap
intensitas serangan Phytium sp. pada Kedelai.
Jurnal Penelitian Pertama VII (8): 20-25.
Semangun H. 2000. Ilmu penyakit tumbuhan.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sudantha IM, Kesratarta I, Sudana. 2011. Uji
antagonisme beberapa jenis jamur saprofit
terhadap Fusarium oxysporum f. sp. cubense
penyebab penyakit layu pada tanaman pisang
serta potensinya sebagai agens pengurai
serasah. UNRAM, NTB. Jurnal Agroteksos 21
(2): 2-3.
Taufik M. 2008. Efektivitas agens antagonis
Trichoderma sp. pada berbagai media tumbuh
terhadap penyakit layu tanaman tomat.
Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan
Tahunan PEI PFI XIX Komisariat Sulawesi
Selatan. Makassar.
Wahyuno D, Manohara D, dan Mulya K. 2009.
Peranan bahan organik pada pertumbuhan dan
daya antagonisme Trichoderma harzianum dan
pengaruhnya terhadap P. capsici. pada tanaman
lada. Jurnal Fitopatologi Indonesia 7: 76−82.
Watanabe T. 2002. Pictorial atlas of soil and seed
fungi morphologies of cultured fungi and key to
species. CRC Press LLC. U.S.A.  
Widyastuti SM, Sumardi, Irfa dan Harjono, 2006.
Aktivitas penghambatan Trichoderma spp.
terformulasi terhadap jamur patogen tular
tanah secara in-vitro. Jurnal Perlindungan
Tanaman Indonesia 8: 27-39.
Yuniati. 2005. Pengaruh pemberian beberapa
spesies Trichoderma sp. dan pupuk kandang
kambing terhadap penyakit layu Fusarium
oxysporum f. sp Lycopersici pada tanaman tomat
(Lycopersicum esculentum Mill) [Skripsi]
Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas
Pertanian, Universitas Muhammadiyah. Malang.
 

Uji Antagonisme Jamur Patogen Phytophthora infestans Penyebab Penyakit Busuk Daun dan Umbi Tanaman Kentang Dengan Menggunakan Trichoderma spp.

BIOMA, Juni  2009                         ISSN: 1410-8801
Vol. 11, No. 1, Hal. 24-32
 

Uji Antagonisme Jamur Patogen Phytophthora infestans Penyebab Penyakit Busuk Daun
dan Umbi Tanaman Kentang Dengan Menggunakan Trichoderma spp.

Isolat Lokal
Susiana Purwantisari dan Rini Budi Hastuti
Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA Undip
Abstract
Trichoderma spp. merupakan jamur asli tanah yang bersifat menguntungkan karena mempunyai sifat
antagonis yang tinggi terhadap jamur-jamur patogen tanaman budidaya. Mekanisme pengendalian yang bersifat
spesifik target dan mampu meningkatkan hasil produksi tanaman, menjadi keunggulan tersendiri bagi jamur
Trichoderma spp. ini sebagai agen pengendali hayati. Pemanfaatan Trichoderma spp. sebagai agen pengendali hayati
jamur patogen Phytopthora infestans merupakan salah satu alternatif penting untuk mengendalikan jamur patogen
tersebut tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Penelitian bertujuan untuk memperoleh jamurjamur
antagonis
spesifik
lokasi

Trichoderma
spp.
untuk
mengendalikan
pertumbuhan
jamur
patogen
Phytophthora
infestans
secara
in
vitro
dengan
uji
antagonisme.
Metode
penelitian
yang
digunakan
adalah
(1) isolasi
dan
identifikasi
jamur
patogen
penyebab
penyakit
lodoh
di
sentra
pertanaman
kentang
di
Kedu
Temanggung,
(2)
isolasi
dan
identifikasi
jamur-jamur
tanah
spesifik
lokasi
Trichoderma
spp.
(3)
uji
antagonisme
Trichoderma
spp.terhadap
pertumbuhan
jamur

patogen
Phytophthora
infestans
secara
in
vitro.
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa penyebab
penyakit
busuk
daun
dan
umbi
tanaman
kentang
di
sentra
pembibitan
tanaman
kentang
di
Kledung
Temanggung
Provinsi
Jawa
Tengah
adalah
 Phytophthora
infestans.
Terdapat
7
isolat
jamur
tanah
yang
berhasil
diisolasi
dari
tanah
pembibitan
tanaman
kentang
tersebut
dan
salah
satunya
adalah
Trichoderma
sp.
Uji antagonisme
secara in
vitro
menunjukkan
bahwa
jamur
antagonis
spesifik
lokasi
 Trichoderma
sp.
berpotensi
menghambat
pertumbuhan
jamur
patogen
Phytophthora
infestans.
Key words: Trichoderma spp, Phytopthora infestans
PENDAHULUAN
Kentang merupakan salah satu jenis
tanaman hortikultura yang bernilai ekonomis
tinggi. Sebagai sumber karbohidrat, kentang
merupakan sumber bahan pangan yang dapat
mensubstitusi bahan pangan karbohidrat lain yang
berasal dari beras, jagung dan gandum (Samadi,
1997). Mengacu pada program pemerintah akan
diversifikasi sumber pangan karbohidrat non beras
akhir-akhir ini, kentang merupakan  salah satu
alternatif penting untuk keragaman bahan pangan
non beras. Sebagai komoditas pertanian andalan di
Kabupaten Wonosobo Propinsi Jawa Tengah yang
bernilai ekonomi tinggi, maka peningkatan
produksi adalah satu-satunya pertimbangan utama
dalam usaha tani kentang. Usaha peningkatan
produksi kentang dipengaruhi adanya faktor
pembatas penting di lapangan antara lain adanya
serangan hama dan penyakit tumbuhan
(Rukmana, 1997).
Penyakit busuk daun dan umbi tanaman
kentang oleh jamur patogen Phytophthora
infestans sejak lama menjadi masalah bagi para
petani kentang dan penyakit ini merupakan
penyakit yang paling serius di antara penyakit dan
hama yang menyerang tanaman kentang di
Indonesia (Katayama & Teramoto, 1997).
Penyakit ini tergolong sangat penting karena
kemampuannya yang tinggi merusak jaringan
tanaman. Serangan patogen dapat menurunkan
produksi kentang hingga 90% dari total produksi
kentang dalam waktu yang amat singkat
(Rukmana, 1997). Sampai saat ini kapang patogen
penyebab penyakit busuk daun dan umbi kentang
tersebut masih merupakan masalah krusial dan
belum ada varietas kentang yang benar-benar
tahan terhadap penyakit tersebut (Cholil, 1991).
Penyakit akan mudah sekali berkembang baik pada
daerah dingin dan lembab karena kapang patogen
yang menyebabkannya mudah tumbuh dan
berkembang baik pada kondisi dingin seperti di
daerah Dieng dan Wonosobo (Djafaruddin, 2000).
Pada saat ini penyakit busuk daun dan
umbi kentang ini sedang berkembang pada
25      Susiana Purwantisari dan Rini Budi Hastuti
pertanaman kentang di Wonosobo. Ninin
(komunikasi pribadi) mengemukakan bahwa
hampir seluruh sentra pertanaman kentang di
Wonosobo terinfeksi jamur tersebut seiring dengan
datangnya musim penghujan tahun ini. Ninin,
2006 menyatakan bahwa pada musim tanam 2006
pada kebun milik BPPTAL  Wonosobo dijumpai
serangan jamur  Phytophthora infestans berkisar
40- 90 %. Sedangkan pada kebun kentang milik
PT Murakabi Buana, Desa Ngablak Kabupaten
Magelang didapatkan serangan mencapai 80%.
Memasuki pasar global persyaratan
produk-produk pertanian ramah lingkungan akan
menjadi primadona. Persyaratan kualitas produk
pertanian akan menjadi lebih ketat kaitannya
dengan pemakaian pestisida sintetik. Salah satu
alternatif upaya peningkatan kuantitas dan kualitas
produk pertanian khususnya kentang dapat
dilakukan dengan pemanfaatan agen hayati
(biopestisida) sebagai pengganti pestisida sintetik
yang selama ini telah diketahui banyak berdampak
negatif dalam mengendalikan penyakit-penyakit
tanaman. Seperti terbunuhnya mikroorganisme
bukan sasaran, membahayakan kesehatan dan
lingkungan (Samways,1983).  Berdasarkan
keadaan ini maka eksplorasi dan skrining agen
hayati pada keanekaragaman hayati yang kita
punya harus dilakukan dalam rangka untuk
menemukan sumberdaya genetik baru yang
berpotensi sebagai agen pengendalian hayati
penyakit tanaman yang ramah lingkungan.
Trichoderma spp. adalah jamur saprofit
tanah  yang secara alami merupakan parasit yang
menyerang banyak jenis jamur penyebab penyakit
tanaman (spektrum pengendalian luas). Jamur
Trichoderma spp. dapat menjadi hiperparasit pada
beberapa jenis jamur penyebab penyakit tanaman,
pertumbuhannya sangat cepat dan tidak menjadi
penyakit untuk tanaman tingkat tinggi.
Mekanisme antagonis yang dilakukan adalah
berupa persaingan hidup, parasitisme, antibiosis
dan lisis (Trianto dan Gunawan Sumantri, 2003).
Menurut Rifai, 1969, jenis Trichoderma yang
umum dijumpai di Indonesia adalah: T.
piluliferum, T. polysporum, T. hamatum, T.
koningii, T. aureoviride, T. harzianum, T.
longibrachiatum. T. psudokoningii, dan T. viride.  
Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa Trichoderma spp. dapat mengendalikan
penyakit yang disebabkan oleh jamur Rhizoctonia
solani. Hasil penelitian Susanna, 2000 dalam
Trianto dan Gunawan. S., 2003, menunjukkan
bahwa Trichoderma spp. isolat Lampung mampu
menekan pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum
pada tanaman pisang. Nurjannani, 2001 dalam
Trianto dan Gunawan. S., 2003, bahwa pemakaian
Trichoderma spp. dapat mengendalikan penyakit
layu bakteri Ralstonia solanacearum. Kaji terap
yang dilaksanakan pada Laboratorium PHPT
Semarang menunjukkan bahwa Trichoderma spp.
cukup efektif untuk mengendalikan penyakit
Alternaria sp pada bawang merah.
Luas pertanaman kentang saat ini
mencapai 70.500 hektar dan tersebar di berbagai
provinsi seperti Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Di
Jawa Tengah kentang umumnya ditanam di
dataran tinggi seperti di daerah Dieng Wonosobo.
Untuk meningkatkan produksi ini dibutuhkan
benih yang bermutu dan pengendalian terhadap
organisme pengganggu tanaman. Organisme
pengganggu ini diperkirakan mencapai 67 spesies.
Sebuah jumlah yang cukup banyak dan mudah
mengancam produksi kentang. Pada musim hujan,
benih kentang rentan terhadap jamur
Phytophthora infestans, sedangkan di gudang
penyimpanan benih rawan serangan hama
(Purbani, dkk, 2007).  Dengan kondisi itu petani
banyak tergantung pada herbisida dan insektisida.
Trichoderma spp. merupakan jamur
antagonis yang sangat penting untuk pengendalian
hayati Mekanisme pengendalian Trichoderma spp.
yang bersifat spesifik target, mengoloni rhizosfer
dengan cepat dan melindungi akar dari serangan
jamur patogen, mempercepat pertumbuhan
tanaman dan meningkatkan hasil produksi
tanaman, menjadi keunggulan lain sebagai agen
pengendali hayati. Aplikasi dapat dilakukan
melalui tanah secara langsung, melalui perlakuan
benih maupun melalui kompos.  Selain itu
Trichoderma spp. sebagai jasad antagonis mudah
dibiakkan secara massal, mudah disimpan dalam
waktu lama dan dapat diaplikasikan  sebagai seed
furrow dalam bentuk tepung atau granular /butiran
(Arwiyanto, 2003). Beberapa keuntungan dan
keunggulan Trichoderma spp. yang lain adalah
mudah dimonitor dan dapat berkembang biak,
sehingga keberadaannya di lingkungan dapat
bertahan lama serta aman bagi lingkungan, hewan
dan manusia lantaran tidak menimbulkan residu
kimia berbahaya yang persisten di dalam tanah
(Anonim, 2002).
Penggunaan jamur antagonis sebagai agen
hayati harus dalam bentuk formulasi yang tepat
dengan bahan yang mudah tersedia (Lewis dan
Papavizas, 1991). Menurut Weller dan Cook, 1983
bahwa untuk menstabilkan efektifitas agensia
hayati harus diformulasikan. Beberapa laporan
menyebutkan bahwa P. fluorescens, Gliocladium
dan Trichoderma telah diformulasikan dalam
bentuk cair, tepung dan kompos.
Perkembangbiakan Trichoderma spp. akan terjadi
bila hifa jamur mengadakan kontak dengan bahan
organik seperti kompos, bekatul atau beras jagung.
Bertaha Hapsari, 2003 menunjukkan bahwa jamur
menguntungkan tersebut dapat bertahan selama 3
bulan jika disimpan dalam kulkas atau sebulan di
suhu kamar pada medium beras jagung yang telah
difermentasi. Sedangkan bahan yang dapat dibuat
sebagai pengemas antara lain talk dan kaolin. (
Trianto dan Sumantri, 2003).
Berdasarkan potensi yang dimiliki
Trichoderma spp. maka pemanfaatan jamur
tersebut sebagai agen hayati untuk pengendalian
jamur patogen Phytophthora infestans pada
tanaman kentang yang berwawasan lingkungan
dan berkelanjutan sangatlah penting di dalam
menunjang program PHT. Oleh karena itu perlu
adanya upaya pengembangan ke depan yaitu
dengan pembuatan formulasi yang ditujukan untuk
menciptakan produk agen hayati yang efektif
untuk mengendalikan penyakit tanaman.
Pengendalian hayati dengan agen hayati
Trichoderma spp. yang terseleksi ini sangatlah
diharapkan dapat mengurangi ketergantungan dan
mengatasi dampak negatif dari pemakaian
pestisida sintetik yang selama ini masih dipakai
untuk mengendalikan penyakit pada tanaman
kentang di Indonesia.
BAHAN DAN METODE
3.1. Isolasi dan Identifikasi Jamur Busuk Daun
dan Umbi Tanaman Kentang  pada sentra
Tanaman Kentang
Pengambilan sampel tanaman sakit
dilakukan di sentra pertanaman kentang di
Wonosobo. Isolasi dilakukan dengan teknik direct
                 Uji Antagonisme Jamur Patogen      26
plating (Malloc, 1997) dengan meletakkan irisan
daun / umbi kentang yang sakit pada medium PDA
steril yang telah ditambah kloramfenikol dalam
cawan petri steril, kemudian diinkubasi pada suhu
25
o
C selama 3-5 hari. Koloni-koloni yang tumbuh
diidentifikasi untuk memastikan adanya
Phytophthora infestans. Selain itu isolasi juga
dilakukan di tanah sekitar tanaman kentang yang
menunjukkan gejala penyakit dengan
menggunakan  metode   umpan dengan
menggunakan buah apel varietas Manalagi. Jamur
yang diperoleh kemudian dibiakkan dalam media
PDA miring dan disimpan dalam paraffin cair
steril untuk uji berikutnya (Tsao, 1983).
             Identifikasi jamur Phytophthora infestans
dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis.
Hasil isolasi jamur yang berupa biakan murni,
dideterminasi berdasarkan morfologi
mikroskopisnya dengan menggunakan kunci
determinasi jamur hingga pada marga dan jenisnya
(Barnett dan Hunter, 1972; Malloch, 1997);
Barnes, Ervin H., 1997).
3.2. Isolasi dan Identifikasi Jamur Antagonis
Trichoderma spp.
Pengambilan sampel tanah dilakukan
diberbagai area di lahan tanaman kentang di
Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Perakaran
beserta tanah di sekitarnya dimasukkan ke dalam
kantong plastik dan disimpan dan termos es.
Sampel tersebut segera dibawa ke Laboratorium
Klinik Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian UGM untuk diisolasi jamur
Trichoderma spp. yang bersifat antagonis terhadap
Phytophthora infestans  penyebab penyakit busuk
daun dan umbi pada tanaman kentang.
Isolasi Trichoderma spp. dilakukan dengan
menggunakan metode pengenceran (dilution
method) hingga 10
3
 pada medium umum (Potato
dextrose Agar) dan spesifik untuk jamur
Trichoderma spp. (Trichoderma Specific Medium)
(Srilakshmi et al., 2001). Hasil isolasi dibiakkan
dalam medium PDA miring dan disimpan dalam
parafin cair untuk uji selanjutnya (Tsao, 1983).
Hasil isolasi jamur yang berupa biakan murni,
dideterminasi berdasarkan morfologi
mikroskopisnya (Salma dan Gunarto, 1996; Zaini
et al., 1997).
25      Susiana Purwantisari dan Rini Budi Hastuti
3.3. Uji Antagonisme Trichoderma spp.
Terahadap Jamur Patogen Busuk Daun  dan
Umbi Tanaman Kentang secara In vitro.
Uji antagonisme mengacu pada metode dua
biakan (dual culture method) ( Benhamou dan
Chet, 1993). Pada medium PDA dalam petridish
dilakukan inokulasi pada dua tempat yang berbeda
baik dengan jamur antagonis terbawa tanah
Trichoderma spp. dan  Phytophthora infestans.
Kemudian diinkubasikan selama 7 hari pada suhu
kamar. Pada hari terakhir pengamatan dilihat
penghambatan pertumbuhan Phytophthora
infestans oleh jamur Trichoderma spp. tersebut
atau adanya hiperparasitisme oleh  jamur
Trichoderma spp. tersebut terhadap Phytophthora
infestans. Jenis-jenis jamur Trichoderma  yang
mampu menghambat diuji sebanyak dua kali lagi
dengan medium dan metode yang sama.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Isolasi patogen penyebab busuk daun dan
umbi tanaman kentang
Kapang patogen Phytophthora infestans
berhasil diisolasi dari beberapa lembar daun
kentang yang telah positif terinfeksi kapang
patogen tersebut yang diambil dari lokasi
perkebunan (pembibitan) kentang di Kledung,
Kedu Temanggung Jawa Tengah yang ditunjukkan
pada gambar-gambar di bawah.
Gambar 1: Busuk daun (late blight) pada daun
tanaman kentang oleh kapang patogen
Phytophthora infestans
Gambar 2: Isolasi langsung daun tanaman
kentang yang terinfeksi kapang patogen
Phytophthora infestans pada medium PDA dan
TEA
 
Gambar 3: Koloni dan gambar mikroskopi
kapang patogen  Phytophthora infestans pada
medium PDA
Hasil isolasi langsung dengan mengambil
sampel tanah di sekitar rizosfer pertanaman
kentang  juga menunjukkan bahwa patogen yang
terdapat di sekitar sistim perakaran tanaman
kentang yang sakit adalah Phytopthora infestans.
Patogen ini dicirikan dengan morfologi
sporangium yang berbentuk bulat dengan papila
pada ujungnya serta hifa yang tidak bersekat
(Gambar 3). Pada medium PDA koloni jamur
berwarna putih dengan miselium yang lembut
menyerupai kapas. Pustaka acuan pada umumnya
menyebutkan bahwa penyebab penyakit busuk
daun dan umbi tanaman kentang disebabkan oleh
jamur patogen Phytopthora infestans (Semangun,
1989)
2.  Isolasi dan identifikasi jamur antagonis
indigenous Trichoderma spp.
Isolasi jamur tanah dilakukan di rizosfer
tanaman kentang di Balai Benih Kentang Kledung
Wonosobo, Jln. Kledung Wonosobo Km  4.
Provinsi Jawa Tengah. Isolat-isolat kemudian
ditumbuhkan pada medium PDA. Dari isolasi
tersebut diperoleh  beberapa isolat jamur tanah
salah satunya adalah jamur antagonis Trichoderma
sp. Pengamatan secara mikroskopis menunjukkan
bahwa dari 1 kelompok jamur antagonis isolat
lokal yang telah didapatkan merupakan kelompok/
marga Trichoderma sp. yang dicirikan dengan
adanya banyak percabangan konidiofor dan
konidium terbentuk secara bergerombol pada
permukaan sel konidiofornya (Gambar 2).
Identifikasi isolat didasarkan pada perbedaan
morfologi koloni (warna dan bentuk koloni) isolat
jamur pada medium PDA tersebut untuk tiap-tiap
sampel tanah. Beberapa isolat tersebut adalah
Penicillium sp., Trichoderma harzianum,
Aspergillus sp., Rhizopus sp., Humicola sp.,
Fusarium sp. dan  Phytophthora infestans. Isolat
tersebut telah diidentifikasi menurut buku
identifikasi jamur oleh Barnett, H.L. dan B.B.
Hunter, 1972. Berikut adalah gambar- gambar
jamur tanah yang diambil dari pemotretan
preparat/ isolate pada mikroskop cahaya
perbesaran 1000 kali.
Gb 1. Pennicillium sp
Gb 2. Trichoderma harzianum
Gb 3. Aspergillus sp.
                 Uji Antagonisme Jamur Patogen      26
Gb 4. Phytophthora infestans
Gb 5. Humicola sp.
Gb 6. Fusarium sp.
Gb 7. Rhizopus sp.
3. Uji antagonisme secara in vitro
Uji antagonisme secara in vitro dilakukan
dengan metode dual method pada médium PDA
dalam cawan petri berdiameter 10 cm. Mekanisme
penghambatan yang terjadi pada uji antagonisme
ini adalah antibiosis dan hiperparasit yang dapat
diamati dengan terbentuknya zona bening sebagai
zona penghambatan pertumbuhan bagi
Phytophthora infestans (antibiosis) dan
pertumbuhan miselium  Trichoderma sp. yang
25      Susiana Purwantisari dan Rini Budi Hastuti
menutupi seluruh permukaan medium termasuk
koloni Phytophthora infestans (hiperparasit).
Pengamatan penghambatan pertumbuhan
Phytophthora infestans dilakukan sejak inkubasi
hari ketiga sampai hari ketujuh. Pada hari pertama
dan kedua selama pengamatan, belum terjadi
mekanisme antagonis antara kedua kapang dimana
masing-masing tumbuh tanpa saling
mempengaruhi karena jarak tumbuh kedua biakan
tersebut cukup labar yakni 5 cm. Pada hari ketiga
telah tampak bahwa pertumbuhan kedua biakan
tersebut saling mandekati sehingga terbentuklah
zona penghambatan bagi Phytophthora infestans
(lebih dari 5mm). Zona penghambatan ini tidak
bersifat tetap selama pengamatan. Sampai pada
hari ketujuh lebar zona bening yang terbentuk
semakin menyempit (kurang dari 5 mm).
Di sisi lain, pertumbuhan Trichoderma sp
semakin cepat dengan diameter yang hampir
memenuhi cawan Petri sehingga Phytophthora
infestans semakin terdesak karena kahabisan rung
tumbuh. Akibatnya jari-jari pertumbuhan biakan
Phytophthora infestans yang mendekati biakan
Trichoderma sp lebih kecil daripada yang
menjauhi Trichoderma sp. Ruang dalam medium
sudah benar-benar habis, maka Phytoptora
infestans  tumbuh dengan arah tumbuh ke atas.
Pada pengamatan setelah hari ketujuh
menunjukkan bahwa spora Trichoderma sp telah
menyerang Phytophthora infestans dengan
mekanisme penetrasi hifa yaitu kemampuan
Trichoderma sp melilit hifa Phytophthora
infestans.
Tabel 1. Persentase Penghambatan Trichoderma
sp terhadap penghambatan pertumbuhan
Phytophthora infestans dengan metode biakan
ganda pada Uji Antagonisme
Besar Presentase Penghambatan (%)
Ulangan
Hari
III
Hari
IV
Hari V Hari
VI
1 12 25 30,56 32,50 41,30
2 4,55 15,38 31,43 38,10 48
3 9,09 16 18,52 20 31,25
RataRata
8,55 18,79 26,84 30,20 40,18
Hari
VII
A
B
C
D
E
Gb 9: Perkembangan pertumbuhan Phytophthora infestans dan
Trichoderma harzianum pada medium PDA dalam masing-
masing cawan petri umur 3 hari (A), 4 hari (B), 5 hari (C), 6 hari
(D) dan 7 hari (E).
A  B
C  D
E
    a.       b.
     b.
  a.
Gambar 10. Penampakan mikroskopis pelilitan
hifa Trichoderma sp. terhadap Phytophtora
infestans. a. Trichoderma sp., b. Phytophtora
infestans
Pengamatan makroskopis pada uji
antagonisme masa inkubasi 7 hari menunjukkan
bahwa bagian tepi koloni jamur patogen  P.
infestans mulai tersdesak oleh jamur antagonis
spesifik lokasi Trichoderma sp. dan pertumbuhan
koloni jamur patogen P. infestans cenderung
tumbuh kearah atas. (Hawker, 1950), menyatakan
bahwa adanya kompetisi ruang dan makanan pada
kedua jamur yang saling berinteraksi
menyebabkan pertumbuhan salah satu jamur
terdesak di sepanjang tepi koloninya, sehingga
                 Uji Antagonisme Jamur Patogen      26
pertumbuhannya akan ke atas tidak menyamping.
Adanya hambatan perkembangan pertumbuhan
koloni jamur pathogen P. infestans oleh jamur
antagonis spesifik lokasi Trichoderma sp.
disebabkan karena pertumbuhan koloni jamur
antagonis  Trichoderma sp. jauh lebih cepat
dibanding jamur pathogen P. infestans (Gambar
11). Hal ini didukung oleh pernyataan Golfarb et
al. (1989). Dalam Suharna & Widhyastuti (1966),
bahwa jamur yang tumbuh cepat mampu
mengungguli dalam penguasaan ruang dan pada
akhirnya bisa menekan pertumbuhan jamur
lawannya. Selain itu diduga karena selulase yang
dimiliki oleh jamur antagonis  Trichoderma sp.
akan merusak dinding sel selulosa jamur pathogen
P. infestans. Sesuai dengan pernyataan Salma dan
Gunarto (1999) bahwa  Trichoderma sp. mampu
menghasilkan selulase untuk menguraikan selulosa
menjadi glukosa. Selulosa merupakan komponen
utama penyusun dinding sel jamur pathogen P.
infestans.   
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan analisa hasil penelitian ini
dapat disimpulkan:
1. Hasil isolasi secara langsung pada daun
tanaman kentang yang sakit menunjukkan
bahwa patogen yang terdapat pada daun
tanaman kentang adalah  Phytophthora.
infestans.
2.  Trichoderma sp. adalah salah satu jamur
antagonis spesifik lokasi yang
menunjukkan kemampuannya dalam uji
antagonisme secara in vitro dalam
mengendalikan pertumbuhan jamur
patogen P. infestans penyebab penyakit
busuk daun tanaman kentang tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Pedoman Penerapan Agen Hayati
Dalam Pengendalian OPT
             Tanaman Sayuran. Direktorat Jenderal
Bina Produksi Hortikultura. Direktorat
             Perlindungan Hortikultura. Jakarta. 49 hal.
Barnes, Ervin H. 1997. Atlas and Manual of Plant
Pathology. Apleton- Century-
             Crofts. New York. Hal.126-130
Barnett, H.L. dan B.B. Hunter. 1972. Illustrated
Genera of Imperfect Fungi. Burgess
25      Susiana Purwantisari dan Rini Budi Hastuti
             Publ. Co. Minneapolis.
Benhamou, N dan I. Chet. 1993. Hyphal
Interactions Between Trichoderma
             harzianum and Rhizoctonia solani:
Ultrastructure and Gold Cytochemistry
             of the Mycoparasitic process.
Phytopathology 83: 1062- 1071
Bertha Hapsari, 2003. Stop Fusarium dengan
Trichoderma. Trubus 404- XXX. Hal.
              42-43).
Cholil, A dan Latief Abadi. 1991. Penyakit-
penyakit penting tanaman pangan.
              Pendidikan Program Diploma  Satu
Pengendalian Hama Terpadu. Fakultas
              Pertanian Universitas Brawijaya Malang.
Cliquet, S. dan R.J. Scheffer. 1996. Biological
Control of Damping- off caused by
              Phythium ultimum and Rhizoctonia solani
using Trichoderma spp. Applied
              as industrial Film Coating Seeds. Europ.
J. Plant Pathol. 102: 247-255.
Djafarudin. 2000. Dasar-dasar Pengendalian
Penyakit Tanaman. Bumi Aksara.
              Jakarta
Katayama, Katsumi, dan Teramoto, Takeshi. 1997.
Seed Potato Production and
              Control of Insect Pest and Diseases in
Indonesia, in Agrochemicals Japan
              Journal. Japan-Plant Protection.
Lewis, J.A. and G.C. Papavizas. 1983. Production
of Clamidospores and Conidia by
              Trichoderma sp. In Liquid and Solid
Growth Media. Soil Biology and
              Biochemistry, 15 (4): 351-357.
Malloch, D. 1997. Moulds Isolation, Cultivation,
Identification, Mycology. Toronto:
              Departement of Botany, University of
Toronto.
Ninin A. Kurniawati, 2006. Pemanfaatan
Trichoderma lignorum untuk
               Mengendalikan Serangan Phytopthora
infestans pada Tanaman Kentang.
               Skripsi. Jurusan Biologi UNDIP
Semarang.
Novizan. 2002. Membuat dan Memanfaatkan
Pestisida Ramah Lingkungan. Agro
               Media Pustaka. Jakarta. 94 hal.
Nuryani, Wakiah, Hanudin, I Djatnika, Evi Silvia
dan Muhidin. 2003. Pengendalian
               Hayati Layu Fusarium pada Anyelir
dengan Formulasi Pseudomonas
                fluorescens, Gliocladium sp., dan
Trichoderma harzianum. Jurnal
               Fitopatologi Indonesia (Vol 7) No. 2: 71-
75 pp.
Purbani, Enny; Yan Suhendar; Imam; Muhanda.
2007. Ayo Garap Bisnis Benih.
               Dalam Agrina Vol. 2- No 47. Hal. 4-7.
Purwantisari, Susiana. 2004. Uji Potensi Kapang
Antagonis Trichoderma lignorum
               Sebagai Agen Pengendali Hayati Kapang
Patogen Phytopthora infestans
               Penyebab Penyakit Utama Tanaman
Kentang. Laporan Penelitian. FMIPA
               Universitas Diponegoro Semarang.
Rukmana, Rachmad. 1997. Kentang: Budidaya
dan Pasca Panen. Yogyakarta:
               Kanisius.
Rukmana, Rachmad dan Saputra. 1997. Penyakit-
penyakit tanaman Hortikultura
               dan Teknik Pengendalian. Yogyakarta:
Kanisius.
Salma, S dan L. Gunarto. 1999. Enzim Selulase
dari Trichoderma spp. Buletin
               AgriBio Vol. (2) No. 2. Balai Penelitian
Bioteknologi Tanaman Pangan.
               Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Bogor.
Samways, M. J. 1981. Biological Control of Pest
and Weeds. Bangalore. India: Mac.
               Millan.
Semangun, H. 1989. Penyakit- Penyakit Tanaman
Hortikultura. Gadjah Mada Press.
              Yogyakarta. 808 p.
Srilakhsmi, P., R.P. Thakur, K. Satya Prasad, V.P.
Rao. 2001. Identification of
              Trichoderma species and their
Antagonistic Potential Against Aspergillus
              flavus in Groundnut. International
Arachis Newaletter 21: 40-43.
Tsao, P.H. 1983. Factors Affecting Isolation &
Quantitation of Phytophthora from
             soil. In D.C. Erwin, S.B. Garcia dan P.H.
Tsao. Phytophthora its Biology,
             Taxonomy and Ecology. The American
Phytopatological Society. St. Paul.
             Hal. 219-236.
Wahyuno, Dono, Dyah Manohara dan Karden
Mulya. 2003.  Peranan Bahan
             Organik pada Pertumbuhan dan Daya
Antagonisme  Trichoderma
             harzianum dan pengaruhnya terhadap
Phytopthora capsici. Jurnal
             Fitopatologi Indonesia  (Vol 7) No. 2: 38-
44 pp.
Wibowo, Arif dan Suryanti. 2003. Isolasi dan
Identifikasi Jamur-jamur Antagonis
             terhadap Patogen Penyebab Penyakit
Busuk Akar dan Pangkal Batang
             Pepaya. Jurnal Fitopatologi Indonesia
(Vol 7) No. 2: 38-44 pp.
                 Uji Antagonisme Jamur Patogen      26
Yuliani, Emi. 2002. Pengendalian Kapang
Sclerotium rolfsii Sacc. Penyebab Busuk
            Batang pada Tanaman Kacang Tanah
dengan menggunakan Kapang
            Antagonis Trichoderma lignorum. Laporan
Penelitian. Lembaga
            Penelitian Universitas Diponegoro
Semarang.
Zimand, G., Y. Elad dan I. Chet. 1996. Effect of
Trichoderma harzianum on Botrytis
           cinerea Phathogenecity. Phytopathology
86: 1255-1260.

Sabtu, 27 Juni 2020

PROSPEK DAN APLIKASI TEKNOLOGI IRADIASI SINAR GAMMA UNTUK PERBAIKAN MUTU BENIH DAN BIBIT TANAMAN HUTAN

PROSPEK DAN APLIKASI TEKNOLOGI IRADIASI SINAR GAMMA UNTUK PERBAIKAN MUTU BENIH DAN BIBIT TANAMAN HUTAN

Oleh :
Muhammad Zanzibar dan Dede J. Sudrajat
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
Jl. Pakuan Ciheuleut PO Box. 105 Bogor 16001, Telp/Fax:(0251)8327768



ABSTRACT

Ionizing radiation is currently a very important way to create genetic variability that is not exists in nature or that is not available to the breeder. Therefore, there are many papers  aimed  to  determine the best  radiation  dose to  be applied  in  plant breeding work. As a result it has been defined intervals gamma radiation useful for many cultivated species, though the determination of the radiosensitivity of tissues by exposure to different intensities of radiation. However, most studies have been conducted have been designed to evaluate the biological response to high doses of radiation,  while  in  relatively  few  studies  have  used  low  doses  to  stimulate physiological processes (radiostimulation) although the ionizing radiation hormesis has been widely supported. Hormesis is the excitation, or stimulation, by small doses of  any  agent  in  any  sistem.  The  beneficial  effect  of  hormesis  has  been  well documented in species of agricultural importance. However, there is limited information about its use in forestry, especially in Indonesia.

Keywords: forestry, genetic variability, hormesis, ionizing radiation, plant breeding.



I.   PENDAHULUAN

Iradiasi adalah suatu proses ionik sebagai salah satu metode modifikasi fisik polisakarida alami (Hai et al., 2003; Rombo et al., 2004; Relleve et al., 2005).  Proses ini juga sangat berguna dalam memecahkan berbagai permasalahan pertanian, seperti penanganan pasca panen (menekan perkecambahan dan kontaminasi), eradikasi dan pengendalian hama dan penyakit, mengurangi penyakit yang terbawa bahan makanan, dan pemuliaan varietas tanaman unggul dan tahan penyakit (Andress, 1994; Emovon, 1996).

Dalam hubungannya dengan perbaikan mutu benih dan bibit, iradiasi sinar gamma telah banyak diaplikasikan untuk meningkatkan viabilitas dan vigor benih (Piri et al., 2011; Iglesias-Andreu et al., 2012) dan meningkatkan keragaman genetik dalam rangka pemuliaan untuk mendapatkan varietas unggul pada banyak jenis tanaman (de Mico et al., 2011; Santosa et al., 2014), terutama jenis-jenis tanaman pertanian. Penggunaan radiasi seperti sinar X, Gamma, dan neutrons serta mutagen kimiawi untuk menginduksi variasi pada tanaman telah banyak dilakukan. Induksi

mutasi telah digunakan untuk peningkatan variasi tanaman penting seperti gandum, padi, barley, kapas, kacang tanah, dan kacang-kacangan lainnya yang diperbanyak melalui biji (Ahlowalia dan Maluszynski, 2001).   Menurut data FAO/IAEA hingga tahun 2009, sekitar 3100 mutan dari 190 jenis telah dibudidayakan.  Jumlah varietas mutan terbesar dihasilkan negara-negara Asia (1858 mutan, terutama di India, Jepang dan  China),  dikuti  Eropa  (899  mutan),  Amerika  Utara  (202  mutan),  Afrika  (62 mutan), Amerika Latin (48 mutan) dan Kawasan Australia/Pasifik (10 mutan) (Poster and Shu, 2012).  Di Indonesia, pemuliaan mutasi telah diaplikasikan pada berberapa jenis tanaman, seperti padi (Sobrizal, 2007; Ishak, 2010), sorghum (Surya dan Soeranto, 2006), kedelai   (Soeranto dan Sihono, 2010), pisang (Indrayanti  et al.,
2011), tanaman hias seperti mawar dan krisan (Hutami et al., 2006; Handayani, 2013). Untuk jenis tanaman kehutanan, khususnya jenis-jenis tropik Indonesia, teknologi ini belum banyak dikembangkan.

Induksi mutasi menggunakan iradiasi menghasilkan mutan paling banyak (sekitar 75%) bila dibandingkan menggunakan perlakuan lainnya seperti  mutagen kimia. Sinar gamma merupakan gelombang elektromagnetik pendek dengan energi tinggi berinteraksi dengan atom-atom atau molekul untuk memproduksi radikal bebas dalam sel. Radikel bebas tersebut akan menginduksi mutasi dalam tanaman sebab radikel tersebut akan menghasilkan kerusakan sel atau pengaruh penting dalam komponen sel tanaman (Kovacs dan Keresztes, 2002).  Keuntungan menggunakan sinar gamma adalah dosis yang digunakan lebih akurat dan penetrasi penyinaran ke dalam sel bersifat homogen. Tidak seperti pemuliaan konvensional yang melibatkan kombinasi gen-gen yang ada pada tetuanya (di alam), iradiasi sinar gamma menyebabkan kombinasi gen-gen baru dengan frekwensi mutasi tinggi. Mutasi digunakan untuk memperbaiki banyak karakter yang bermanfaat yang mempengaruhi ukuran tanaman, waktu berbunga dan kemasakan buah, warna buah, ketahanan terhadap penyakit dan karakter-karakter lainnya. Karakter-karakter agronomi penting yang berhasil dimuliakan dengan mutasi pada beberapa jenis tanaman di antaranya adalah  tanaman tahan penyakit, buah-buahan tanpa biji, tanaman buah-buahan yang lebih pendek dan  genjah (IAEA, 2009).

Sebagian besar penelitian penggunaan iradiasi sinar gamma dirancang untuk mengevaluasi respons biologi terhadap dosis radiasi tinggi, dan penelitian yang relatif terbatas juga telah dilakukan dengan menggunakan iradiasi pada dosis rendah untuk

menstimulasi proses fisiologi (radiostimulation) tanaman melalui eksitasi, atau stimulasi dengan dosis rendah, atau dikenal dengan istilah hormesis (Luckey, 1980). Pengaruh yang menguntungkan dari hormesis telah banyak dilakukan pada jenis-jenis tanaman pertanian (Luckey, 2003; Piri et al., 2011), namun informasi penggunaan teknologi tersebut dalam bidang kehutanan masih terbatas (Iglesias-Andreu et al.,
2012).   Meskipun   masih   sedikit   informasi   mengenai   fenomena   hormosis   ini, Vaiserman (2010) memberi indikasi adanya kemungkinan hubungan antar hormosis dengan pengaruh epigenetik (perubahan yang diturunkan pada fungsi genom, yang terjadi  tanpa  perubahan  susunan  urutan  DNA)  sebagai  suatu  respons  adaptif. Efigenetik bersifat sementara dan individu yang termutasi dapat kembali normal.

Tulisan ini akan memberikan tinjauan penggunaan iradiasi sinar gamma jenis- jenis  tanaman,  khususnya  untuk  memberbaiki  perkecambahan  benih  dan pertumbuhan, serta potensinya untuk mendapatkan variaetas mutan unggul pada beberapa jenis tanaman hutan .



II. PENGARUH IRADIASI TERHADAP PERKECAMBAHAN DAN PERTUMBUHAN

Ketika radiasi ionisasi diserap ke dalam material biologis, radiasi tersebut akan beraksi secara langsung terhadap target sel kritis atau secara tidak langsung melalui pembangkitan metabolit yang dapat memodifikasi komponen-komponen sel penting.  Penggunaan irasiasi sinar gamma dengan berbagai dosis dalam hubungannya dengan perkecambahan benih telah dicoba pada berbagai tanaman (Tabel 1). Hasil- hasil tersebut menunjukkan bahwa dosis yang digunakan dan pengaruhnya terhadap perkecambahan  benih  berbeda-beda untuk  tiap  jenis  dan  genotipe.  Namun  secara umum, dosis iradiasi yang lebih tinggi cenderung menghambat perkecambahan.


Tabel 1. Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma pada beberapa jenis tanaman pertanian

Jenis
Dosis sinar gamma
Pengaruh
Pustaka
Sorghum vulgare (L)
1-10 kR
Pengurangan rata-rata tinggi bibit
Iqbal (1980)
Salix nigra Marsh.
0,1-100 kR
Dosis rendah meningkatkan
kecepatan pertumbuhan
Gehring
(1985)
Allium cepa L.
10, 20, 40,
80, dan 100 kR
Persentase bibit abnormal
meningkat dengan meningfkatnya dosis iradiasi
Amjad dan
Akbar (2003)


Jenis
Dosis sinar gamma
Pengaruh
Pustaka
Triticum aestivum L.
10, 20, 30,
dan 40 kR
Benih teriradiasi menunjukkan
lebih superior dibandingkan kontrol untuk beberapa karakter
Singh dan
Balyan (2009)
Sesamum indicum L.
200, 400,
600 dan 800
Gy
Pengaruh mutagenik oleh
penyusunan kembali kromosom intergenomik
Kumar dan
Singh (2010)
Daucus carota L.
0,5 dan 1
kR
Iradiasi mempercepat
perkecambahan benih
Bassam dan
Simon (1996)
Capsicum annuum
L.
2, 4, 8, dan
16 Gy
Dosis rendah merangsang
pertumbuhan dan resitensi cekaman
Kim et al.
(2005)
Triticum durum
10, 20 Gy
Meningkatkan daya dan kecepatan
berkecambah
Melki dan
Marouani
(2009)
Lactuca sativa
5, 30 Gy
Merangsang parameter
pertumbuhan (perkecambahan, panjang akar dan hipokotil)
Marcu et al.
(2012)
Terminalia arjuna
25 Gy
Meningkatkan daya
berkecambahn, indeks vigor, laju rata-rata pertumbuhan
Akshatha et
al. (2013)


Peningkatan atau penurunan persentase perkecambahan sebagai akibat dari perlakuan sinar gamma pada beberapa jenis tanaman telah banyak diteliti. Chan dan Lam (2002) melaporkan juga bahwa iradiasi benih pepaya dosis 10 Gy meningkatkan persentase perkecambahan  menjadi  50% dari  kontrol  30%. Sementara itu,  Habba (1989) melaporkan bahwa peningkatan dosis iradiasi hingga 100 Gy, secara gradual meningkatkan   perkecambahan   benih,   namun   kemudian   perkecambahan   benih menurun sejalan dengan meningkatnya dosis iradiasi. Hasil tersebut juga sama dengan yang ditemukan Hell et al. (1974), Marcu et al. (2012) dan  yang menyatakan bahwa iradiasi dosis tinggi dapat mengurangi perkecambahan benih. Fenomena ini dikenal dengan istilah pengaruh hormesis yang didefinisikan Luckey (2003) sebagai stimulasi dengan dosis rendah iradiasi ionisasi dan penghambatan pada dosis yang tinggi. Dosis rendah didefinisikan sebagai suatu dosis di antara tingkat radiasi lingkungan dan ambang batasnya yang menandai batas antara pengaruh biopositif dan bionegatif.

Respon iradiasi ionisasi bervariasi antar tanaman, tergantung dari morfologi dan fisiologi tanaman, jenis, umur, ukuran dan komposisi genom, dosis irradiasi, tipe iradiasi, dan sebagainya. Pengaruh stimulasi sinar gamma terhadap perkecambahan mungkin disebabkan oleh aktivasi sintesa RNA  atau sintesa protein,  yang terjadi selama tahap awal perkecambahan setelah benih diradiasi (Kuzin et al., 1975; Kuzin et  al.,  1976;  Abdel-Hady  et  al.,  2008).    Hipotesa  lainnya  menyatakan  adanya

percepatan pembelahan sel (Zaka et al., 2004) atau stimulasi langsung/tidak langsung gen-gen  yang  responsif  terhadap  auksin  (Kovalchuk  et  al.,  2007).     Perubahan biokimia mempengaruhi  proses metabolisma  sel  yang pada tingkat  tertentu  dapat menguraikan bahan kimia penghambat perkecambahan (Busby, 2008) dan meningkatkan pembelahan sel sehingga tidak hanya berpengaruh terhadap perkecambahan tetapi juga terhadap pertumbuhan bibit (Piri et al., 2011).  Fan et al. (2003) memberi indikasi bahwa radikel bebas yang dibangkitkan dalam tanaman yang disebabkan iradiasi sinar gamma akan bertindak sebagai sinyal stres dan merangsang respon stres dalam tanaman, yang menghasilkan peningkatan sintesa asam polifenol yang notabenenya mempunyai kegunaan antioksidatif.   Sjodin (1962) melaporkan bahwa bahan dan energi yang diperlukan selama pertumbuhan awal tersedia dalam benih, sehingga dosis iradiasi rendah mungkin meningkatkan aktivasi enzim dan membangkitkan   embrio   muda,   yang   menghasilkan   stimulasi   terhadap   laju pembelahan sel dan meningkatkan tidak hanya proses perkecambahan, tetapi jga pertumbuhan vegetatif.

Selain terhadap perkecambahan, pengaruh iradiasi sinar gamma pun telah dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator respon tanaman berbeda. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan tanaman sering dijadikan ukuran respon terhadap dosis radiasi berbeda. Beberapa penelitian melaporkan penggunaan irradiasi dosis rendah, seperti pada padi yang memberikan pengaruh positif terhadap perakaran dan pertumbuhannya. Radiasi gamma dosis rendah (10-30 Gy) merangsang kemunculan persentase tunas kentang (Solanum tuberosum), sedangkan pada 40-50
Gy, tinggi dan panjang akar secara signifikan terhambat, dan pada dosis tingi (60 Gy)

tidak ada tunas yang muncul (Cheng et al. 2010).

Kuzin (1997) menyimpulkan bahwa penyinaran jaringan tanaman dengan radiasi atomik dosis rendah akan menginduksi radiasi sekunder yang merangsang pembelahan sel-sel dan mendisain radiasi ini sebagai radiasi biogenik sekunder yang mengaktifkan reseptor membran sel.  Radiasi ini membawa informasi yang diterima reseptor membran dan informasi tersebut diperlukan untuk memfungsikan dan mengembangkan sel-sel organisme hidup. Sementara, radiasi benih dengan sinar gamma dosis tinggi mengganggu sintesa protein, keseimbangan hormon, pertukaran gas, pertukaran air dan aktivitas enzim (Hameed et al., 2008), yang memicu gangguan

terhadap  morfologi  dan  fisiologi  tanaman  dan  menghambat  pertumbuhan  dan perkembangan tanaman.



III. PENGGUNAAN IRADIASI SINAR GAMMA DOSIS RENDAH PADA BENIH TANAMAN HUTAN

Pada jenis-jenis tanaman hutan, perlakuan radiasi sinar gamma pada dosis rendah mampu memperbaiki perkecambahan benih dan pertumbuhan bibit (Iglesias- Andreu et al., 2012; Akshatha et al., 2013). Selain itu, radiasi sinar gamma juga mampu menunda pembusukan buah (WHO, 1988), mengurangi populasi bakteri, jamur, serangga dan pathogen lainnya (Gruner et al., 1992) sehingga potensial diaplikasikan untuk meningkatkan daya simpan benih. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pegaruh iradiasi terhadap perbaikan mutu benih dan bibit seperti pada jenis jati, suren, jabon putih, tembesu, bambang lanang, kayu bawang dan jenis-jenis tanaman hutan lainnya (Tabel 2).

Tabel 2.  Penerapan dosis rasiasi sinar gamma pada beberapa jenis tanaman hutan

Jenis
Dosis sinar gamma
Pengaruh
Pustaka
Jati (Tectona
grandis)
10, 20, 30, 40,
dan 50 kR
Memperbaiki laju perkecambahan
benih
Bhargava dan
Khalatkar
(1987)
Suren (Toona
sinensis)
5, 20 Gy
Meningkatkan perkecambahan
benih dan pertumbuhan bibit
Zanzibar, et
al. (2008)
Tembesu (Fagraea
fragrans)
5 dan 10 Gy
Meningkatkan daya berkecambah
dan daya simpan benih
Zanzibar, et
al. (2015)
Jabon putih
(Anthocephalus cadamba)
15 dan 20 Gy
Meningkatkan perkecambahan
benih dan pertumbuhan bibit
Zanzibar, et
al. (2014)
Jabon merah
(Anthocephalus macrophylus)
10 – 30 Gy
Meningkatkan perkecambahan
benih dan pertumbuhan bibit
Zanzibar, et
al. (2014)
Bambang lanang
(Magnolia champaca)
10 Gy
Meningkatkan perkecambahan
benih (daya dan indeks berkecambah) dan meningkatkan daya simpan benih
Zanzibar dan
Sudrajat, 2015



Pada benih bambang lanang, perlakuan iradiasi pada dosis 10 Gy (LD50 = 30-

35 Gy) menghasilkan peningkatan perkecambahan (indeks perkecambahan dan nilai perkecambahan) (Gambar 1b-c). Namun,  pada  dosis  yang lebih  tinggi  cenderung mengalami penurunan. Benih  yang diiradiasi  yang disimpan selama 3 bulan juga

memberikan perkecambahan yang lebih baik dibanding kontrol hingga dosis 20 Gy, dan kemudian menurun pada dosis yang lebih tinggi.   Pada dosis 10 Gy juga memberikan rata-rata bertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan dengan dosis lainnya (Gambar 1d).

Penggunaan dosis 2,5 Gy sampai 120 Gy pada benih tembesu yang disimpan selama 2 bulan mampu meningkatkan jumlah kecambah, sedangkan penggunaan dosis
240 Gy mengalami penurunan jumlah kecambah (Gambar 2). Pada perlakuan benih iradiasi  tanpa penyimpanan,  jumlah kecambah  yang muncul  sebagian  besar tidak berbeda nyata dengan benih tanpa iradiasi (kontrol).   Pada perlakuan iradiasi benih tanpa penyimpanan, dosis 5 Gy memberikan jumlah kecambah terbanyak (303 kecambah per 0.1 gram), sedangkan pada perlakuan iradiasi benih dengan penyimpanan selama 2 bulan, dosis 10 Gy menghasilkan jumlah kecambah terbanyak (346 kecambah per 0.1 gram).

70

Text Box: Germination percentage (%)60

50

40                          LD50
30

20

10

0
0   10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Gamma irradiation (Gy)



(a)






















(b)
 
(c)



(b)
 
Gambar 1. Lethal dosis (a), indek perkecambahan benih (b), nilai berkecambah benih yang disimpan 3 bulan (c), dan penampilan bibit umur 6 bulan pada dosis iradiasi sinar gamma 0, 5 dan 10 Gy (d).

(d)




(a)

























(b)

(c)

















Gambar 2. Jumlah kecambah benih tembesu pada berbagai dosis iradiasi sinar gamma (a); Pertumbuhan kecambah pada umur 40 hari setelah tabur: dosis 10 Gy (b) dan dosis 240 Gy (c)

Benih   tembesu   yang   telah   diiradiasi   mengalami   perubahan   komposisi biokimia, seperti energi total, kadar abu, lemak total, protein dan karbohidrat total (Tabel 3). Semakin tinggi dosis iradiasi yang diberikan maka benih tembesu akan mengalami peningkatan kadar protein dan penurunan kadar karbohidrat total serta energi total, terutama pada dosis 240 Gy.   Kadar karbohidrat dan energi total yang lebih rendah membuat proses perkecambahan menjadi terhambat dan banyak kecambah abnormal yang tumbuh.

Tabel 3. Komposisi biokimia benih tembesu akibat perlakuan iradiasi dengan sinar gamma
Parameter
0 Gy
20 Gy
60 Gy
240 Gy
Energi total (kkal/100 g)
362.67
356.28
359.61
260.18
Kadar abu (%)
1.76
1.83
1.78
1.87
Lemak total (%)
1.11
0
0.73
0.70
Protein (%)
14.55
15.6
15.74
15.97
Karbohidrat total (%)
73.62
73.47
72.52
72.50


Umumnya pada jenis-jenis tanaman hutan, dosis iradiasi rendah mampu memperbaiki  perkecambahan  benih.  Beberapa penelitian  lainnya juga melaporkan kecenderungan yang sama, yaitu terjadi perbaikan perkecambahan benih pada perlakuan sinar gamma dosis rendah dan cenderung menurun pada dosis yang tinggi, seperti pada Pinus sylvestris (Sokolov et al., 1998), Tectona grandis (Bhargava and Khalatkar, 2004), Cicer arietinum (Khan et al., 2005; Toker et al., 2005), Triticum aestivum (Singh dan Balyan, 2010), dan Terminalia arjuna (Akshatha et al. 2013). Iradiasi sinar gamma dalam dosis yang tinggi umumnya menghasilkan pengaruh inhibitor terhadap perkecambahan (Kumari dan Singh, 1996), menurunnya kadar auksin atau kerusakan kromoson (Sparrow, 1961), sedangkan radiasi dengan dosis rendah umumnya menghasilkan pengaruh stimulasi terhadap perkecambahan melalui peningkatan aktivitas enzim, perbaikan sel-sel respirasi, dan meningkatkan produksi struktur reproduksi (Luckey, 1998).



IV. POTENSI IRADIASI SINAR GAMMA UNTUK PEMULIAAN MUTASI TANAMAN HUTAN

Metode pemulian pada prinsipnya dapat diklasifikasikan ke dalam 3 sistem, yaitu pemuliaan rekombinasi, pemuliaan mutasi, dan pemuliaan transgenik. Setiap sistem mempunyai cara yang unik untuk mendapatkan keragaman dan menseleksi individu target (Tabel 4). Pada pemuliaan mutasi, pembangkitan alel-alel termutasi baru merupakan dasar dan karakter yang unik.  Genetik dibalik pemuliaan mutasi meliputi  perbedaan  dalam  sensitivitas  genotipe  berbeda  dan  jaringan  tanaman terhadap mutagen berbeda, yang sering diukur dengan lethal doses; genetik yang terbentuk setelah perlakuan mutagenik berpengaruh terhadap alel-alel dan segregasi pada generassi berikutnya (Shu, 2013).

Mutasi merupakan salah satu teknik yang telah dikembangkan  secara luas sebagai upaya untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman untuk mendapatkan sifat baru sebagai sarana untuk perbaikan genetik tanaman, terutama pada tanaman yang selalu diperbanyak secara vegetatif sehingga keragaman genetiknya rendah atau untuk mendapatkan karakter baru dimana sifat  tersebut tidak dijumpai pada gene poll yang ada.   Kerugian dari pemuliaan mutasi adalah terbatasnya kemampuan untuk membangkitkan alel-alel dominan yang mungkin diharapkan, dan juga kurang efektif dibandingkan perkawinan silang untuk suatu sifat-sifat kombinasi multi alel, seperti toleran   terhadap   cekaman   lingkungan.   Frekwensi   mutasi   yang   rendah   juga memerlukan populasi yang besar untuk menyeleksi mutan-mutan yang diharapkan (Shu, 2013).



Tabel 4. Perbedaan tiga sistem pemuliaan tanaman berdasarkan beberapa tolok ukur pemuliaan


Pemuliaan konvensional/
rekombinan
Pemuliaan mutasi
Pemuliaan
transgenik
Sumber
variasi genetik
Rekombinasi alel-alel gen
dari tetuanya
Alel-alel baru dibuat
secara acak dari endogenous gen
Memasukan gen baru
atau memodikasi endogenous gen
Transmisi,
ekspresi dan sifat penurunan
Tidak ada transmisi,
berhubungan dengan segregasi alel-alel berkerabat
Menginduksi mutasi
untuk seleksi diploid dan haploid
Ekpresi transgenik
Sifat aksi
gen
Dominan, alel-alel yang
resesif
Sebagian besar alel-
alel resesif
Sebagian besar alel
dominan
Generasi
pemuliaan
Sekitar 10 generasi
2-3 generasi
Sekitar 3 generasi

Mutasi buatan untuk tujuan pemuliaan tanaman dapat dilakukan dengan memberikan mutagen. Mutagen yang dapat digunakan untuk mendapatkan mutan ada dua golongan yaitu mutagen fisik (sinar x, sinar gamma dan sinar ultra violet) dan mutagen kimia (Ethyl Methan Sulfonat, Diethyl sulfat, Ethyl Amin dan kolkisin). Perubahan  yang ditimbulkan karena pemberian mutagen baik fisik maupun kimia dapat terjadi pada tingkat genom, kromosom, dan DNA. Mutasi dibedakan menjadi mutasi kecil (mutasi gen) dan mutasi besar (mutasi kromosom).  Mutasi kecil adalah perubahan yang terjadi pada susunan molekul gen (DNA), sedangkan lokus gennya tetap,  sedangkan  mutasi  besar   adalah  perubahan  yang  terjadi  pada  struktur  dan susunan kromosom. Mutasi gen disebut juga mutasi titik. Mutasi ini terjadi karena perubahan urutan basa pada DNA atau dapat dikatakan sebagai perubahan nukleotida

pada DNA. Mutasi Kromosom terjadi pada kromosom yang merupakan struktur di dalam sel berupa deret panjang molekul yang terdiri dari satu molekul DNA yang menghubungkan gen sebagai kelompok satu rangkaian. Kromosom memiliki dua lengan, yang panjangnya kadangkala sama dan kadangkala tidak sama, lengan-lengan itu bergabung pada sentromer (lokasi menempelnya benang spindel selama pembelahan mitosis dan meiosis). Pengaruh bahan mutagen, khususnya radiasi, yang paling banyak terjadi pada kromosom tanaman adalah pecahnya benang kromosom (chromosome breakage  atau chromosome aberration). Mutasi kromosom meliputi perubahan jumlah kromosom dan perubahan struktur kromosom mutasi pada tingkat kromosom disebut aberasi.

Menurut van Harten (1998), keberhasilan program induksi mutasi sangat bergantung pada materi tanaman yang mendapat perlakuan mutagen. Qosim (2006) dalam penelitiannya terhadap kalus nodular manggis, menyebutkan bahwa induksi radiasi sinar gamma menghasilkan keragaman genetik dengan menggunakan teknik RAPD dengan keragaman genetik antara 60-91%. Sementara Harahap (2005) dalam penelitian dengan menggunakan biji manggis hasil iradiasi sinar gamma yang di tanan secara in vitro, didapat keragaman genetik yang diperoleh sebesar 62-100%. Sobir dan Poerwanto (2007) menyatakan berdasarkan analisis RAPD pada bibit manggis hasil  iradiasi  sinar  gamma  menggunakan  lima  primer  acak,  terbukti  keragaman genetik  tanaman hasil  iradiasi  lebih  besar (62%) dibandingkan  variabilitas  aksesi manggis di Jawa (27%). Dalam penelitian ini, keragaman genetik yang diperoleh dari hasil iradiasi sinar gamma sebesar 77-95%, meningkat sebesar 5% dibandingkan kontrol.

Untuk jenis-jenis tanaman kehutanan, pemuliaan mutasi sangat potensial, terutama untuk membangkitkan keragaman baru pada jenis-jenis yang keragaman di alamnya relatif sempit atau untuk mendapatkan karakter-karakter tanaman yang lebih adaptif terhadap perubahan lingkungan dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Pada tingkat bibit, peningkatan tinggi bibit hasil iradiasi sinar gamma untuk jenis bambang lanang mampu mencapai 77% pada dosis 80 Gy (Zanzibar dan Sudrajat, 2015), sementara pada jenis suren, peningkatannya mencapai 600% dibandingkan dengan kontrol (Zanzibar dan Witjaksono, 2011) (Gambar 3).





























(a)                                                   (b)                                             (c)



Gambar 3.   Pertumbuhan bibit suren umur 6 bulan yang berasal dari benih yang diperlakukan dengan penuan dan iradiasi. Bibit dari benih dengan perlakuan penuaan  selama 2 hari - iradiasi 5 Gy (a),   penuaan 0 hari - tanpa iradiasi (b) dan penuaan 0 hari-iradiasi 5 Gy (c).



Penggunaan  iradiasi  sinar  gamma  untuk  pemuliaan  mutasi  tanaman  hutan telah dilakukan pada jenis jati malabar pada tingkat kalus (invitro) dosis 2.5 30 Gy. Perlakuan mampu meningkatkan keragaman populasi dasar serta diperolehnya klon yang produktivitasnya lebih tinggi melalui seleksi yang ketat, baik pada tingkat bibit maupun pertumbuhan tanaman melalui uji multi lokasi.  Pertumbuhan hingga umur 8
tahun di Muna (jarak tanam 4 x 4 m2) diperoleh rata-rata diameter dan tinggi, masing-

masing  32  cm  dan  19  meter  (lokal  Muna,  diameter  =  16  cm  dan  tinggi  13.6 meter)(Gambar 4).

(a)                                                                                    (b)


















(c)                                                                                      (d)














Gambar 4. Penampilan tegakan jati lokal Muna umur 5 dan 8 tahun (a dan c) dan jati hasil pemuliaan mutasi pada umur yang sama (b dan d) di Muna.




KESIMPULAN

Dosis iradiasi sinar gamma dengan dosis rendah dapat dijadikan sebagai perlakuan benih (seed treatment) yang mampu memperbaiki perkecambahan dan pertumbuhan bibit beberapa jenis tanaman hutan.   Bagaimana pun, untuk mencapai hasil tersebut sangat penting untuk menseting ambang batas hormetik suatu jenis yang juga tergantung dari tipe jaringan yang diiradiasi dan jumlah kelembaban di dalam jaringan.    Radiasi hormesis memberikan kemampuan kepada benih untuk memperbaiki metabolismenya dan meningkatkan viabilitas serta vigor benih dan bibit. Selain itu, iradiasi juga mampu menciptakan keragaman baru yang sangat penting untuk proses seleksi (pemuliaan mutasi) terhadap individu-individu tanaman dengan karakter-karakter yang diinginkan yang mampu meningkatkan produktivitas hutan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Hady, M.S., Okasha, E.M., Soliman, S.S.A., and Tallat, M. 2008. Effect of gamma radiation and gibberellic acid on germination and alkaloid production in Atropa belladonna L. Australian Journal of Basic and Applied Sciences
2:401-405.

Ahlowalia, B.S. and M. Maluszynski. 2001. Induced mutation-A new paradigm in plant breeding. Euphytica 118:167-173.

Akshatha, Chandrashekar, K.R., Somashekarappa, H.M., and Souframanien, J. 2013.
Effect  of  gamma  irradiation  on  germination,  growth,  and  biochemical parameters of Terminalia arjuna Roxb. Radiat Prot Environ 36:38-44.

Amjad, M. and Akbar, A. 2003. Effect of post-irradiation storage on the radiation- induced damage in onion seeds. Asian Journal of Plant Science 2(9):702-707.

Andress, E.L., Delaplane, K.S., and Schuler, G.A. 1994. Food Irradiation. Fact sheet HE 8467 (Institute of Food and Agricultural Sciences University of Florida, USA).

Bhargava, Y. and Khalatkar, A. 2004. Improve performance of Tectona grandis seeds with gamma irradiation. Acta Hortic. 215:51-54.

Chan, Y.K. and  Lam,  P.F.   2002.   Irradiation-induced mutations in papaya with special emphasis on papaya ringspot resistance and delayed fruit ripening. Working  Material   Improvement  of  tropical  and  subtropical  fruit  trees through induced mutations and biotechnology.  IAEA, Vienna, Austria. pp 35
– 45.

De Micco, V., C. Arena. D. Pignalosa, and M. Durante. 2011. Effects of sparsely and densely ionizing radiation on plants. Radiat. Environ. Biophys. 50:1-19.

Emovon, E.U. 1996. Keynote Address: Symposium Irradiation for National Development (Shelda Science and Technology Complex, SHESTCO, Abuja, Nigeria). pp. 156-164.

Fan, X., Toivonen, P.M.A., Rajkowski, K.T., and Sokorai, K.J.B. 2003. Warm water treatment in combination with modified atmosphere packaging reduces undesirable effects of irradiation on the quality of fresh-cut iceberg lettuce. Journal of Agricultural and Food Chemistry 51:1231–1236.

Gehring, R. 1985. The effect of gamma radiation on Salix nigra Marsh. Cuttings.
Arkansas Academy of Science Proceedings, 39:40-43.

Gruner, M.M., Horvatic, D., Kujundzic, and Magdalenic, B. 1992. Effect of gamma irradiation on the lipid components of soy protein products. Nahrung, 36: 443-
450.

Habba, I.E. 1989. Physiological effect of gamma rays on growth and productivity of Hyoscyamus muticus L. and Atropa belladonna L. Ph.D. Thesis, Fac. Agric. Cairo Univ., Cairo, Egypt. 65-73.

Hai, L., Diep, T.B., Nagasawa, N., Yoshii, F., and Kume, T. 2003. Radiation depolymerization of chitosan to prepare oligomers. Nucl. Instrum. Methods Phys. Res. B, 208: 466470.

Hameed, A., Shah, T.M., Atta, M.B., Haq, M.A., and Sayed, H. 2008. Gamma irradi- ation effects on seed germination and growth, protein content, peroxidase and protease activity, lipid peroxidation in desi and kabuli chickpea. Pakistan Journal of Botany 40:1033–1041.

Handayati, W. 2013. Perkembangan pemuliaan mutasi tanaman hias di Indonesia.
Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. 9 (1): 67- 80.

Harahap, F. 2005. Induksi variasi genetik tanaman manggis (Garcinia mangostana)
dengan radiasi sinar gamma. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hell, K.G., and Silveira, M. 1974. Imbibition and germination of gamma irradiation
Phaseolus vulgaris seeds. Field Crop Abst., 38(6): 300.

Hutami, S., Mariska, I., dan Yati Supriati. 2006. Peningkatan  keragaman genetik tanaman melalui keragaman somaklonal. Jurnal Agro Biogen 2(2):81-88.

IAEA. 2009. Induced Mutation in Tropical Fruit Trees. IAEA-TECDOC-1615. Plant Breeding and Genetics Section. International Atomic Energy Agency, Vienna, Austria. p161.

Iglesias-Andreu, L.G., Octavio-Aguilar, P. and Bello-Bello, J. 2012. Current importance  and  potential  use  of  low  doses  of  gamma  radiation  in  forest species. In Gamma radiation (Adrovic, F., Ed.).   InTech Europe. Rijeka, Croatia. p. 265-280.

Indrayanti,  R.,  N.A.  Mattjik,  A.  Setiawan,  Sudarsono.  2011.  Radiosensitivity  of banana  cv.  Ampyang  and  potential  application  of  gamma  irradiation  for variant induction. J. Agron. Indonesia 39:112-118.

Iqbal, J. 1980. Effects of acute gamma irradiation, developmental stages and cultivar differences on growth and yiel of wheat and sorghum plants. Environmental and Experimental Botany, 20(3):219-231.

Ishak. 2012. Agronomic traits, heritability and G x E interaction of upland rice (Oryza sativa L.) mutant lines. J. Agron. Indonesia 40:105-111.

Khan M.R., Qureshi, A.S., Syed, A.H. and Ibrahim, M. 2005.   Genetic variability induced by gamma irradiation and its modulation with gibberellic acid in M2 generation of Chickpea (Cicer arietinum L.). Pakistan J. Bot.  37(2):285-292.

Kim, J.; Chung, B.; Kim, J. and Wi, S. 2005). Effects of in planta gamma-irradiation on   growth,   photosynthesis,   and   antioxidative   capacity   of   red   pepper (Capsicum annuum L.) plants. Journal of Plant Biology, 48(1): 47-56.

Kovacs E, and Keresztes A. 2002. Effect of gamma and UVB/C radiation on plant cell. Micron, 33:199210.

Kovalchuk, I., Molinier, J., Yao, Y., Arkhipov, A., and Kovalchuk, O. 2007. Tran- scriptome analysis reveals fundamental differences in plant response to acute and chronic exposure to ionizing radiation. Mutation Research 624:101–113.

Kumar, G. and Singh, Y. 2010. Induced intergenomic chromosomal rearrangements in Sesamum indicum L. CYTOLOGIA, 75 (2):157-162.

Kumari, R. and Singh, Y. 1996. Effect of gamma rays and EMS on seed germination and  plant  survival  of  Pisum  sativum  L.,  and  Lens  culinaris.  Med.  Neo Botanica, 4(1): 25-29.

Kuzin, A.M., Vagabova, M.E., and Revin, A.F. 1976. Molecular mechanisms of the stimulating action of ionizing radiation on seeds. 2.  ctivation of protein and high molecular RNA synthesis. Radiobiologiya, 16: 259-261.

Kuzin, A.M., Vagabova, M.E., and Prinak-Mirolyubov, V.N. 1975. Molecular mechanisms of the stimulating effect of ionizing radiation on seed. Activation of RNA synthesis. Radiobiologiya., 15: 747-750.

Kuzin, A.M. 1997. Natural atomic radiation and pehnomenon of life. Bulletin of
Experimental Biology and Medicine 123:313–315.

Luckey, T. 2003. Radiation hormesis overview. RSO Magazine 4:19–36.

Luckey,  T.  1998.  Radiation  hormesis:  Biopositive  effect  of  radiation.  Radiation
Science and Health. CRC press. Boca Raton, FLO, USA.

Marcu, D., Cristea, V., and L. Daraban. 2012.   Dose-dependent effects of gamma radiation on lettuce (Lactuca sativa var. capitata) seedlings. International Journal of Radiation Biology, 1–5.

Melki,  M.,  and  Morouani,  A. 2009.    Effects  of gamma rays  irradiation  on  seed germination and growth of hard wheat. Environ Chem Lett. 8:307-310.

Piri, I., Babayan, M., Tavassoli, A. and Javaheri, M. 2011. The use of gamma irradiation   in   agriculture.   African   Journal   of   Microbiology   Research
5(32):5806-5811.

Poster, B.P., and Shu, Q.Y. 2012. Plant Mutagenesis in Crop Improvement: Basic Terms and Applications. In Plant Mutation Breeding and Biotechnology (Shu, Q.Y., Poster, B.P. and Nakagawa, Eds.). Joint FAO/IAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture International Atomic Energy Agency, Vienna, Austria.

Qosim, W.A. 2006. studi Irradiasi Sinar Gamma Pada Kultur Kalus Nodular Manggis Untuk      Meningkatkan   Keragaman   Genetik   Dan   Morfologi   Regeneran. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Relleve, L., Nagasawa, N., Luan, L.Q., Yagi, T., Aranilla, C., and Abad, L. 2005.
Degradation of carrageenan by radiation. Polymer Degradation and Stability,
87: 403–410.

Rombo, G.O., Taylor, J.R.N., and Minnaar, A. 2004. Irradiation of maize and bean flours: Effects on starch physicochemical properties. J. Sci. Food Agric., 84:
350–356.

Santosa, E., Pramono, S., Mine Y., and N. Sugiyama. 2014. Gamma Irradiation on Growth and Development of Amorphophallus muelleri Blume. J. Agron. Indonesia 42 (2) : 118-123.

Shu, Q.Y. 2013. Plant  Mutation Breeding.  Joint FAO/IAEA Division  of Nuclear Techniques in Food and Agriculture International Atomic Energy Agency, Vienna, Austria.

Singh, N. K. and Balyan H. S. 2009 Induced mutations in bread wheat (Triticum aestivum L.) CV. Kharchia 65” for reduced plant height and improve grain quality traits. Advances in Biological Research, 3(5-6):215-221.

Sjodin, J. 1962. Some observations in X1 and X2 of Vicia faba L. after treatment with different mutagens. Hereditas 48:565–573. Sjodin J. 1962. Some observations

in  X1  and  X2  of  Vicia  faba  L.  after  treatment  with  different  mutagens. Hereditas 48:565–573.

Sobir dan Poerwanto, R. 2007. Mangosteen genetic and improvement. Intl J Pl Breed
1(2): 105-111.

Sobrizal.  2007.  Rice  mutation  on  candidate  of  restorer  mutant  lines.  J.  Agron.
Indonesia 35:75-80.

Soeranto, H. dan Sihono. 2010. Sorghum breeding for improved drought tolerance using induced mutation with gamma irradiation. J. Agron. Indonesia 38:95-99.

Sokolov, M.; Isayenkov, S. and Sorochynskyi, B. 1998. Low-dose irradiation can modify viability characteritics of common pine (Pinus sylvestris) seeds. Tsitologiya Genetika, 32(4): 65- 71.

Sparrow, A. and  Woodwell,  G. (1962). Prediction  of the sensitivity of plants  to chronic gammairradiation. Radiation Botany, 2(1): 9-12.

Surya, M.I. dan Soeranto R. Pengaruh Irradiasi Sinar Gamma terhadap Pertumbuhan Sorgum manis (Sorghum bicolor L.). Risalah Seminar Ilmiah Aplikasi lsotop dan Radiasi, 2006. Pp206-215.

Toker C., B. Uzen, H. Canci and F.O. Ceylan. 2005. Effects of gamma irradiation on the shoot length of Cicer seeds. Radiation Physics and Chemistry. 73:365-367.

Vaiserman, A. (2010). Hormesis, adaptive epigenetic reorganization, and implications for human health and longevity. Dose Response, 8(1):16–21.

Van Harten, A.M. 1998. Mutation Breeding. Theory and Practical Aplication. Press
Syndicate of the Univ. of Cambridge. UK.

WHO  (World  Health  Organization).  1988.  Food  irradiation:  A  technique  for preserving and improving the safety of food (WHO Publication in Collaboration with FAO). pp. 144-149.

Zaka, R., Chenal, C., and Misset, M.T. 2004. Effect of low doses of short-term gamma irradiation on  growth and development  through two  generation of Pisum sativum. Science of the Total Environment 320:121–129.

Zanzibar, M dan Witjaksono.   2011. Pengaruh Penuaan dan Iradiasi Benih dengan Sinar Gamma (60C) Terhadap Pertumbuhan Bibit Suren (Toona sureni Blume Merr). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 8 (2):89-95.

Zanzibar, M. and Sudrajat, D.J. 2015. Effect of Gamma Irradiation on Seed Germination, Storage, and Seedling Growth of Magnolia champaca (L.) Baill. ex Pierre.  Belum dipublikasikan.

Zanzibar, M., Sudrajat, D.J., Putra, P.G., dan Supardi, E. 2008. Teknik Invigorasi Benih Tanaman Hutan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan. Bogor.