Mari Berusaha, Berdo'a Kemudian Tawakal

Saya Hanya Manusia Biasa

Senin, 25 Juni 2012

ANALISIS KOMPERATIF PENDAPATAN PETANI ORGANIK DAN PETANI ANORGANIK

Smangat
ANALISIS KOMPERATIF PENDAPATAN PETANI ORGANIK
DAN PETANI ANORGANIK

Bambang Hermanto, SP, MSi.[1]

Abstrak

Analisis komperatif pendapatan petani organik dan petani anorganik (konvensional) petani padi sawah di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai. Tujuan untuk mengetahui (a) Untuk mengetahui berapa besar perbedaan pendapatan petani organik dan petani anorganik (konvensional) pada tanaman padi sawah di daerah penelitian, (b) Manakah yang lebih layakan antara petani organik dan anorganik (konvensional) pada tanaman padi sawah di daerah penelitian. Berdasarkan Pertimbangan populasi dalam penelitian digunakan metode Purposive Sampling, yaitu penarikan sampel dengan pertimbangan.
         Nilai R/C rata-rata keuntungan yang didapat petani organik adalah sebesar 2.27  dan yang didapat petani anorganik adalah sebesar 1.66. Berdasarkan hasil dari nilai R/C dapat diketahui bahwa usaha petani organik layak di usahakan karena nilai R/C lebih besar dari satu ( 2.27 > 1) dan usaha petani anorganik masih layak di usahakan karena nilai R/C lebih besar dari satu ( 1.66 > 1). Analisis komperatif pendapatan petani organik dan petani anorganik (konvensional) petani padi sawah di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai menyatakan bahwa luas lahan, pupuk, pestisida, zat perangsang tumbuh (ZPT) dan tenaga kerja  berpengaruh signifikan terhadap keuntungan petani padi sawah pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Kata kunci : Keuntungan Petani padi sawah, luas lahan (rante) , pupuk (Kg), pestisida (cc), ZPT (cc), dan tenaga kerja (HKSP).

Pendahuluan

Latar Belakang
Pentingnya sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia dapat dilihat dari aspek kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penyediaan lapangan kerja, penyediaan penganekaragaman tanaman, kontribusi untuk mengurangi jumlah orang-orang miskin dipedesaan dan peranannya terhadap nilai devisa yang dihasilkan dari ekspor. Sektor pertanian masih diharapkan tetap memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia dan sektor pertanian akan lebih berperan lagi bagi sektor  industri kalau sektor pertanian sebagai pemasok (supply) bahan baku disektor industri (Soekartawi, 2003)
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat dunia mulai memperhatikan persoalan lingkungan dan ketahanan tanaman pangan yang dilanjutkan dengan melaksanakan usaha-usaha yang terbaik untuk menghasilkan pangan tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumber daya tanah, air dan udara. Akan tetapi karena kerawanan pangan sering terjadi dibanyak negara  yang sedang berkembang, maka negara-negara industri berusaha mengembangkan teknologi  “revolusi hijau” untuk mencukupi kebutuhan pangan dunia. Sebagai konsekwensi dikembangkannya teknologi “revolusi hijau” maka kearifan lokal/ pengetahuan tradisional yang berkembang sesuai dengan budaya setempat mulai terdesak bahkan mulai dilupakan. Teknologi modern yang mempunyai ketergantungan tinggi terhadap bahan agrokimia seperti pupuk dan pestisida kimia serta bahan kimia pertanian lainnya lebih diminanti petani daripada melaksanakan pertanian yang akrab lingkungan   (S. Sabastian Eliyas, 2008).
Pertanian organik sebagai bagian pertanian akrab lingkungan perlu segera dimasyarakatkan atau diingatkan kembali sejalan makin banyak dampak negatif terhadap lingkungan yang terjadi akibat dari penerapan teknologi intensifikasi yang mengandalkan bahan kimia pertanian. Disamping itu, makin meningkatkanya jumlah konsumen produksi bersih dan menyehatkan serta meluasnya gerakan “ green consumer ” merupakan pendorong segera disosialisasikan  gerakan pertanian organik. Gerakan pertanian organik di Indonesia dipelopori oleh Organisasi Non Pemerintah (ORNOP) yang kemudian menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta dipercepat dengan adanya program ekolabel dan Internasional Standart Organik (ISO) 14000 (Sutanto Rachman, 2002)
Upaya melakukan gerakan pertanian organik mulai berkembang di Indonesia sejalan dengan perkembangan  pertanian organik dunia. Konsumen negara-negara maju menjadi pemicu awal dan inspirasi dari bergulirnya pertanian organik ini. Di Indonesia, pertanian organik menjadi “tren” karena tumbuhnya kesadaran konsumen untuk mengkonsumsi produk yang aman dan sehat. Selain itu, proses produksinya juga cukup bersahabat dengan lingkungan. Tanpa disadari, di Indonesia telah berkembang praktek pertanian organik untuk berbagai komoditas seperti beras, sayuran dan buah-buahan  walaupun kenyataannya  bahwa secara kualitas beberapa dari produk ini belum memenuhi persyaratan baku SNI ( Standar Nasional Indonesia) yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap produk organik yang dihasilkan petani  (Prasetio Y.T, 2006).
Tentu pemerintah tidak mau ketinggalan respons. Kemudian, sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap gerakan pertanian organik di Indonesia dilakukan melalui Departemen Pertanian  yang telah mencanangkan beberapa paket kebijakan degan motto; “ Go Organic 2010 ” yang bertujuan  menjadikan Indonesia sebagai produsen pangan organik yang permintaan pasarnya cendrung meningkat dengan signifikan (S. Sabastian Eliyas, 2008).
 Indonesia pernah menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia. Indonesia menjadi “ price leading “  dalam perdagangan beras Internasional. Artinya, hagar beras dipasaran dunia ditentukan oleh pemerintah Indonesia. Pada tahun 1960, impor beras Indonesia terus mencapai 0,6 jutan ton. Pada tahun-tahun berikutnya impor beras Indonesia terus melonjak hingga puncaknya terjadi pada tahun 1980 yakni  mencapai 2 juta ton. Jumlah impor beras Indonesia mulai menurun pada tahun 1981 hingga tahun 1984. Pada tahun 1990 tercatat produksi beras nasional sudah mencapai  45,176 juta ton gabah kering giling (GKG) atau kira-kira sentra 29 juta ton beras. Lima tahun kemudian, angka produksi mencapai 49,449 juta ton (GKG) (Arifin. B. 2007).
Proses pencapaian swasembada beras tak lepas dari penerapan dan innovási teknologi yang dikembangkan pemerintah, misalnya dalam penggunaan benih unggul, teknologi pemupukan, pengendalian organisme pengganggu, pengolahan tanah. Dalam kaitannya dengan status beras sebagai comoditas “strategis” maka taraf swasembada harus tetap dimantapkan dan dilestarikan (Prasetio Y.T, 2006).
Strategi atau industrialisasi yang dipimpin permintaan petani terdiri dari pembangunan pasar konsumsi masal domestik dengan cara memperbaiki produktivitas pertanian skala kecil dan menengah. Pertanian skala kecil dan menengah memiliki efek kaitan yang lebih besar dengan industri domestik  dibanding dengan pertanian skala besar sementara juga memiliki tingkat produktivitas yang tinggi. Usaha-usaha pertanian yang lebih kecil adalah padat karya dan menggunakan alat-alat dan permesinan domestik. Petani-petani kecil memiliki kecenderungan konsumsi marginal yang lebih besar, dan bagian marginal lebih besar dari konsumsi mereka diarahkan ke tekstil produksi lokal, pakaian, alas kaki dan alat-alat konsumsi yang sederhana seperti lemari es, sepeda, mesin jahit, dan alat-alat elektronik yang sederhana. Juga mereka cenderung mengadakan banyak penanaman dalam pembangunan modal manusia, dengan mengeluarkan bagian besar dari penghasilan  mereka untuk pendidikan (TB. Tulus , 2003).
  Penggunaan input secara baik akan menghasilkan produksi yang semakin meningkat dan seiring dengan peningkatan keuntungan masyarakat. Sehingga dengan keuntungan yang meningkat akan mewujudkan peningkatan laju pembangunan ekonomi negara dan merangsang pertumbuhan ekonomi, maka tujuan ini berkaitan dengan lebih menekankan pada biaya produksi. Dengan meningkatkan produktivitas tenaga kerja akan meningkatkan produksi beras ( Soekartawi, 2001).

Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas, tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
a.       Untuk mengetahui berapa besar perbedaan pendapatan petani organik dan petani anorganik (konvensional) pada tanaman padi sawah di daerah penelitin.
b.      Manakah yang layakan antara petani organik dan anorganik (konvensional) pada tanaman padi sawah di daerah penelitian



Tinjauan Pustaka

Pengertian petani organik dan anorganik
       Pertani organik adalah petani yang melakukan pengolahan lahan dengan didasarkan pada proses sumber daya alam menurut siklus kehidupan, dengan sistem yang membudaya untuk memproduksi tanaman dengan kondisi pertumbuhan yang baik dan sehat. Pertanian organik meliputi kegiatan seperti bertani dengan menggunakan kompos, kotoran ternak dan bahan organik lainnya sehingga dapat membangun siklus kehidupan secara alamiah.
Sistem pertanian organik berpijak pada kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan produksi dengan memperhatikan kemampuan alami dari tanah, tananaman, dan hewan untuk menghasilkan kualitas yang baik bagi hasil pertanian dan lingkungan. Menurut IFOAM  (International  Federation  of  Organik Agriculture Movements), tujuan yang hendak dicapai dengan penggunaan system pertanian organik adalah sebagai berikut:
1.      Menghasilkan bahan pangan dengan kualitas nutrisi tinggi serta dalam jumlah cukup.
2.      Melaksanakan interaksi efektif  dengan sistem dan daur alamiah yang mendukung semua bentuk kehidupan yang ada.
3.      Mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam sistem usaha tani dengan mengaktifkan kehidupan jasad renik, flora dan fauna, tanah, tanaman, serta hewan.
4.      Memelihara serta meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan.
5.      Menggunakan sebanyak mungkin sumber-sumber terbarui yang berasal dari sistem usaha tani itu sendiri. 
6.      Memanfaatkan bahan-bahan yang mudah didaur ulang baik didalam maupun diluar usahatani.
7.      Menciptakan keadaan yang memungkinkan ternak hidup sesuai dengan perilaku yang hakiki.
8.      Membatasi terjadinya semua bentuk pencemaran lingkungan yang mungkin dihasilkan oleh kegiatan pertanian.
9.      Mempertahankan keanekaragaman hayati termasuk pelestarian habitat tanaman dan hewan.
10. Mempertimbangkan dampak yang lebih luas dari kegiatan usaha tani terhadap kondisi fisik dan sosial (Wartaya Winagun Y, 2005)
Petani anorganik (konvensional) cendrung menggunakan pupuk kimia dan memaksa tanaman tumbuh, tetapi hasil dari sistem ini adalah menambah kerentanan tanaman terhadap hama dan penyakit yang mengakibatkan menaiknya kebutuhan tambahan bahan kimia berbahaya lainnya. Sistem ini juga melawan proses alamiahnya alam secara turun temurun, sehingga masalah serupa akan terjadi terus menerus ( TB. Tulus, 2003).

Konsep Pertanian Organik
           Konsep pertanian organik adalah tidak berbeda dengan pertanian berkelanjutan, tetapi aplikasinya mungkin berjalan sesuai dengan pemahaman individu. Bahkan kata berkelanjutan sekarang dipakai dalam lingkungan pembangunan, ketika kata ini sudah diartikan sebagai menjaga suatu upaya agar terus berlangsung, dan tidak menjadi merosot. Disektor pertanian organik, berkelanjutan ditafsir sebagai usaha mengelolah sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia dengan tetap melestarikan lingkungan dan sumber daya alam, juga adanya kegiatan pengelolahan lahan sebagai campur tangan manusia, untuk kemudian ditanami dengan berbagai jenis tanaman yang menghasilkan, sebagai bahan makanan manusia dan mahkluk hidup lainnya (Susanto Rachman, 2002).

Penerapan Pertanian Organik
          Perlunya diterapkan pertanian organik ke petani supaya mereka  berkeinginan untuk  menanam tanaman tanpa pengaruh atau dampak kimia berbahaya, kemudian mulai diterapkan dalam pengembangan “ pertanian organik”. Sehingga, defenisi umum tentang pertanian organik adalah sistem  pengembangan tanam yang menggunakan bahan organik ke dalam tanah seperti kompos, kotoran ayam, dan sumber pupuk organik lainnya, juga terbebas dari bahan  kimia, insektisida kimia, dan pestisida kimia. Prinsip seperti ini didasarkan pada keyakinan bahwa ketika kompos dan kotoran binatang yang berkwalitas diberikan kepada tanah, mikroorganisme menjadi kuat dan berkembang biak, kemudian secara alami akan menambah daya tahan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit, sehingga memutus kebutuhan akan bahan-bahan kimia pertanian. Dengan demikian, penggunaan bahan organik membuat pupuk kimia menjadi tidak berguna (S. Sabastian Eliyas, 2008).

Hipotesis
        Berdasarkan masalah dan tujuan penelitian serta kerangka penelitian maka hipotesis dari penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Ada perbedaan pendapatan antara petani organik dengan petani anorganik (konvensional) tanaman padi sawah
2.      Petani organik lebih layak dari pada  petani anorganik ( konvensional ) pada tanaman padi sawah.

Metode Analisis
a.   Untuk menguji hipotesis pertama  akan dianalisa dengan uji validitas (kesahihan) dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
    th =
                            
          S2gab =

           S2
           Dimana :
                 = nilai sampel petani organik
                               = nilai sampel petani anorganik (konvensional)
                           = rata-rata petani organik
                          = rata-rata petani anorganik (konvesional)      
                         S     =  standart deviasi 
                         gap   = gabungan
          untuk pengujian hipotesis pertama digunakan uji t, dengan kriteria sebagai
          berikut:
t hitung > t tabel Ho ditolak dan H1 diterima maka hipotesis diterima (a = 0.05 % )
t hitung < t tabel Ho diterima dan H1 ditolak (a = 0.05 % )                            
(Husaini Usman, 2006)

b.         Untuk menguji hipotesis kedua digunakan rumus sebagai berikut :
    R/C ratio  
            Untuk pengujian hipotesis kelayakan usaha, dengan kriteria:
Apabila R/C ratio > 1, maka hipotesis diterima, dikatakan layak diusahakan.
            Apabila R/C ratio < 1, maka hipotesis ditolak, tidak layak
            (Soekartawi, 2003)     

Hasil Dan Pembahasan
1.  Hasil Analisis dan Perhitungan Hipotesis Terhadap Petani Organik dan
       Anorganik.
Tabel 1. Daftar Analisa Usaha Tani
Rata-Rata Usaha Tani
Petani Organik
Petani Anorganik
Luas Lahan
12.56 Hektar
8.96 Hektar
Pupuk
251.0 Kg
71.68 Kg
Pestisida
2009.60 cc
358.40 cc
ZPT
251.20 cc
179.20 cc
Jumlah Tenaga Kerja
86.66 HKSP
61.82 HKSP
Keuntungan
Rp. 4.268.019,44
Rp. 1.568.244,00

2.      Perbandingan Luas Lahan Terhadap Petani Organik dan Anorganik
Dari daftar tabel 1 diketahui bahwa jumlah rata-rata luas lahan yang menjadi petani organik seluas 12.56 hektar dan yang menjadi petani anorganik seluas 8.96 hektar. Berdasarkan hasil dari analisa statistik untuk luas lahan diperoleh t hitung > t tabel  (10.58 > 1.71) dengan taraf kenyataan a = 0.05 % dengan kata lain bahwasanya t hitung > t tabel sehingga hipotesis yang menyatakan adanya perbedaan luas lahan antara petani organik dan anorganik diterima.
Dimana luas lahan petani organik lebih luas dari petani anorganik karena petani organik luas lahannya masih ada diatas 1 hektar sedangkan petani anorganik luas lahannya masih di bawah 1 hektar.

3.      Perbandingan Pupuk Terhadap Petani Organik dan Anorganik
Dari daftar tabel 1 diketahui bahwa jumlah rata-rata pupuk yang digunakan petani organik sebesar 251.20 kg dan yang digunakan petani anorganik sebesar 71.68 kg. Berdasarkan hasil dari analisa statistik untuk penggunaan pupuk diperoleh t hitung > t tabel  (28.67 > 1.71) dengan taraf kenyataan a = 0.05 % dengan kata lain bahwasanya t hitung > t tabel sehingga hipotesis yang menyatakan adanya perbedaan penggunaan pupuk antara petani organik dan anorganik diterima.
Dimana dari penggunaan pupuk bagi petani organik lebih banyak sesuai dengan luas lahan  dan harga pupuk murah dengan harga Rp.1.000/kg – Rp 1.500/kg,  sedangkan untuk petani anorganik pupuk yang digunakan lebih sedikit sesuai dengan kebutuhan lahan dan harga pupuk lebih mahal dengan harga Rp.2.500/kg – Rp. 4.000/kg.

4.      Perbandingan Pestisida Terhadap Petani Organik dan Anorganik
Dari daftar tabel 1 diketahui bahwa jumlah rata-rata pestisida yang digunakan petani organik adalah pestisida nabati  sebanyak  2009.60 cc dan yang digunakan petani anorganik adalah pestisida kimia sebanyak 358.40 cc. Berdasarkan hasil dari analisa statistik untuk penggunaan pestisida diperoleh t hitung >  t tabel  (33.33 > 1.71) dengan taraf kenyataan a = 0.05 % dengan kata lain bahwasanya t hitung > t tabel sehingga hipotesis yang menyatakan adanya perbedaan penggunaan pestisida antara petani organik dan petani anorganik diterima (Lampiran 13).
Dimana dari penggunaan pestisida bagi petani organik lebih banyak sesuai dengan luas lahan  dan harga pestisida sebesar Rp.15/cc – Rp 20/cc,  sedangkan untuk petani anorganik pestisida  yang digunakan lebih sedikit sesuai dengan kebutuhan lahan dan harga pestisida sebesar Rp.25/cc – Rp. 75/cc .

5.      Perbandingan Zat Perangsang Tumbuh (ZPT) Terhadap Petani Organik dan Anorganik

Dari daftar tabel 1 diketahui bahwa jumlah rata-rata ZPT yang digunakan petani organik adalah  sebanyak  249.20 cc dan yang digunakan petani anorganik adalah sebanyak 179.20 cc. Berdasarkan hasil dari analisa statistik untuk penggunaan ZPT diperoleh t hitung >  t tabel ( (10.20 > 1.71) dengan taraf kenyataan a = 0.05 % dengan kata lain bahwasanya t hitung > t tabel sehingga hipotesis yang menyatakan adanya perbedaan penggunaan ZPT antara petani organik dan petani anorganik diterima.
Dimana dari penggunaan ZPT bagi petani organik lebih banyak sesuai dengan luas lahan  dan harga ZPT sebesar Rp.25/cc – Rp 40/cc,  sedangkan untuk petani anorganik ZPT  yang digunakan lebih sedikit sesuai dengan kebutuhan lahan dan harga ZPT sebesar Rp.25/cc – Rp. 60/cc .

6.      Perbandingan Tenaga Kerja Terhadap Petani Organik dan Anorganik
Dari daftar tabel 1 diketahui bahwa jumlah rata-rata tenaga kerja yang digunakan petani organik adalah tenga kerja  sebanyak  86.66 HKSP dan yang digunakan petani anorganik adalah tenaga kerja sebanyak 61.82 HKSP. Berdasarkan hasil dari analisa statistik untuk penggunaan tenaga kerja diperoleh t hitung > t tabel ( (10.52 > 1.71) dengan taraf kenyataan a = 0.05 % dengan kata lain bahwasanya t hitung > t tabel sehingga hipotesis yang menyatakan adanya perbedaan penggunaan tenaga kerja antara petani organik dan petani anorganik diterima.
Dimana dari penggunaan tenaga kerja bagi petani organik lebih banyak sesuai dengan luas lahan  dan upah tenaga kerja sebesar Rp.30.000/orang – Rp 40.000/orang,  sedangkan untuk petani anorganik tenaga kerja  yang digunakan lebih sedikit sesuai dengan kebutuhan lahan dan upah tenaga kerja sebesar Rp.30.000/orang – Rp 40.000/orang .

7.      Perbandingan Kelayakan Terhadap Petani Organik dan Anorganik
Total pendapatan diperoleh dari total penerimaan dikurangi dengan total biaya suatu produksi/penjualan. Sedangkan total penerimaan diperoleh dari perkalian jumlah tanaman yang terjual dengan harga jual tanaman tersebut. 
Dari hasil penelitian diperoleh nilai R/C rata-rata keuntungan yang didapat petani organik adalah sebesar 2.27  dan yang didapat petani anorganik adalah sebesar 1.66. Berdasarkan hasil dari nilai R/C dapat diketahui bahwa usaha petani organik layak di usahakan karena nilai R/C lebih besar dari satu ( 2.27 > 1) dan usaha petani anorganik masih layak di usahakan karena nilai R/C lebih besar dari satu ( 1.66 > 1).
Dimana dari nilai R/C ratio rata-rata keuntungan petani organik dan petani anorganik dapat diartikan semakin besar R/C ratio maka semakin besar pula keuntungan yang diperoleh. Dari analisa perbandingan R/C ratio ternyata R/C yang paling besar adalah petani organik sebesar 2.27 dan petani  anorganik sebesar 1.66 ( 2.27  > 1.66).

8.      Perbandingan Keuntungan Terhadap Petani Organik dan Anorganik
Total Keuntungan diperoleh dari total penerimaan dikurangi dengan total biaya suatu produksi/penjualan. 
Dari hasil penelitian diperoleh total keuntungan yang didapat petani organik adalah sebesar Rp. 4.268.019,44  dan total keuntungan yang didapat dari petani anorganik adalah sebesar Rp. 1.568.244,00. Berdasarkan hasil dari total keuntungan dapat diketahui bahwa petani organik lebih menguntungkan dibandingkan dengan petani anorganik.
Dimana dari total rata-rata keuntungan petani organik dan petani anorganik dapat dilihat selisih total keuntungan sebesar Rp. 2.699.775,44

Kesimpulan

Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan:
1)          Jumlah rata-rata luas lahan yang menjadi petani organik seluas 12.56 rante dan yang menjadi petani anorganik seluas 8.96 rante. Berdasarkan hasil dari analisa statistik untuk luas lahan diperoleh t hitung > t tabel ( (10.58 > 1.71) dengan taraf kenyataan a = 0.05 % dengan kata lain bahwasanya t hitung > t tabel sehingga hipotesis yang menyatakan adanya perbedaan luas lahan antara petani organik dan anorganik diterima.
2)          Jumlah rata-rata pupuk yang digunakan petani organik sebesar 251.20 kg dan yang digunakan petani anorganik sebesar 71.68 kg. Berdasarkan hasil dari analisa statistik untuk penggunaan pupuk diperoleh t hitung > t tabel ( (28.67 > 1.71) dengan taraf kenyataan a = 0.05 % dengan kata lain bahwasanya t hitung > t tabel sehingga hipotesis yang menyatakan adanya perbedaan penggunaan pupuk antara petani organik dan anorganik diterima.
3)          Jumlah rata-rata pestisida yang digunakan petani organik adalah pestisida nabati  sebanyak  2009.60 cc dan yang digunakan petani anorganik adalah pestisida kimia sebanyak 358.40 cc. Berdasarkan hasil dari analisa statistik untuk penggunaan pestisida diperoleh t hitung >  t tabel ( (33.33 > 1.71) dengan taraf kenyataan  a = 0.05 % dengan kata lain bahwasanya t hitung > t tabel sehingga hipotesis yang menyatakan adanya perbedaan penggunaan pestisida antara petani organik dan petani anorganik diterima.
4)          Jumlah rata-rata ZPT yang digunakan petani organik adalah ZPT  sebanyak  249.20 cc dan yang digunakan petani anorganik adalah ZPT sebanyak 179.20 cc. Berdasarkan hasil dari analisa statistik untuk penggunaan ZPT diperoleh t hitung >     t tabel ( (10.20 > 1.71) dengan taraf kenyataan a = 0.05 % dengan kata lain bahwasanya t hitung > t tabel sehingga hipotesis yang menyatakan adanya perbedaan penggunaan ZPT antara petani organik dan petani anorganik diterima.
5)          Jumlah rata-rata tenaga kerja yang digunakan petani organik adalah tenga kerja  sebanyak  86.66 HKSP dan yang digunakan petani anorganik adalah tenaga kerja sebanyak 61.82 HKSP. Berdasarkan hasil dari analisa statistik untuk penggunaan tenaga kerja diperoleh t hitung >  t tabel ( (10.52 > 1.71) dengan taraf kenyataan       a = 0.05 % dengan kata lain bahwasanya t hitung > t tabel sehingga hipotesis yang menyatakan adanya perbedaan penggunaan tenaga kerja antara petani organik dan petani anorganik diterima.
6)          Nilai R/C rata-rata keuntungan yang didapat petani organik adalah sebesar 2.27  dan yang didapat petani anorganik adalah sebesar 1.66. Berdasarkan hasil dari nilai R/C dapat diketahui bahwa usaha petani organik layak di usahakan karena nilai R/C lebih besar dari satu ( 2.27 > 1) dan usaha petani anorganik masih layak di usahakan karena nilai R/C lebih besar dari satu ( 1.66 > 1)
7)          Nilai total keuntungan yang didapat petani organik adalah sebesar Rp. 4.268.019,44 dan yang didapat petani anorganik adalah sebesar Rp. 1.568.244,00. Dari perbandingan pendapatan petani organik dan petani anorganik pada padi sawah maka, pendapatan yang lebih besar adalah pada petani organik. Total rata-rata keuntungan petani organik dan petani anorganik dapat dilihat selisih total keuntungannya  sebesar Rp. 2.699.775,44

Daftar Pustaka
Arifin Bustanul, 2007. Diagnosisi Ekonomi Politik Pangan dan Pertanian. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Prasetio Y.T, 2006. Budidaya Tanaman Padi Tanpa Olah Tanah (T.O.T). Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

S. Sabastian Eliyas , 2008. Pertanian Organik. Penebar Swadaya, Jakarta.
Soekartawi, 2001. Pembangunan Pertanian Teori dan Aplikasi. Rajawali Pers, Jakarta.

Soekartawi, 2003. Agribisnis Teori dan Aplikasi. Rajawali Pers, Jakarta.
                            
Sutanto Rachman, 2002. Pertanian Organik. Kanisius, Yogyakarta.

TB Tulus, 2003. Perkembangan Sektor Pertanian Indonesia. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.

Usman Husaini, 2006. Pengantar Statistika. Bumi Aksara, Jakarta.

Wartaya Winagun Y, 2005. Membangun Karakter Petani Organik Sukses dalam Era Globalisasi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Suratiyah.K. 2008 Ilmu usaha Tani Penerbit  Kanisius.Yogyakarta.


[1] Dosen Yayasan UMN Al Washliyah

Tidak ada komentar: