Smangat
ANALISIS
KOMPERATIF PENDAPATAN PETANI ORGANIK
DAN PETANI
ANORGANIK
Bambang
Hermanto, SP, MSi.[1]
Abstrak
Analisis komperatif pendapatan petani organik dan petani anorganik
(konvensional) petani padi sawah di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan
Kabupaten Serdang Bedagai. Tujuan untuk mengetahui (a) Untuk mengetahui berapa
besar perbedaan pendapatan petani organik dan petani anorganik (konvensional)
pada tanaman padi sawah di daerah penelitian, (b) Manakah yang lebih layakan
antara petani organik dan anorganik (konvensional) pada tanaman padi sawah di
daerah penelitian. Berdasarkan Pertimbangan populasi dalam penelitian digunakan
metode Purposive Sampling, yaitu penarikan sampel dengan pertimbangan.
Nilai R/C rata-rata keuntungan yang didapat
petani organik adalah sebesar 2.27 dan
yang didapat petani anorganik adalah sebesar 1.66. Berdasarkan hasil dari nilai
R/C dapat diketahui bahwa usaha petani organik layak di usahakan karena nilai
R/C lebih besar dari satu ( 2.27 > 1) dan usaha petani anorganik masih layak
di usahakan karena nilai R/C lebih besar dari satu ( 1.66 > 1). Analisis
komperatif pendapatan petani organik dan petani anorganik (konvensional) petani
padi sawah di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai
menyatakan bahwa luas lahan, pupuk, pestisida, zat perangsang tumbuh (ZPT) dan
tenaga kerja berpengaruh signifikan
terhadap keuntungan petani padi sawah pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Kata kunci : Keuntungan Petani
padi sawah, luas lahan (rante) , pupuk (Kg), pestisida (cc), ZPT (cc), dan
tenaga kerja (HKSP).
Pendahuluan
Latar Belakang
Pentingnya sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia dapat dilihat dari
aspek kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penyediaan lapangan
kerja, penyediaan penganekaragaman tanaman, kontribusi untuk mengurangi jumlah
orang-orang miskin dipedesaan dan peranannya terhadap nilai devisa yang
dihasilkan dari ekspor. Sektor pertanian masih diharapkan tetap memegang
peranan penting dalam perekonomian Indonesia dan sektor pertanian akan
lebih berperan lagi bagi sektor industri
kalau sektor pertanian sebagai pemasok (supply) bahan baku disektor
industri (Soekartawi, 2003)
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat dunia mulai memperhatikan
persoalan lingkungan dan ketahanan tanaman pangan yang dilanjutkan dengan
melaksanakan usaha-usaha yang terbaik untuk menghasilkan pangan tanpa
menyebabkan terjadinya kerusakan sumber daya tanah, air dan udara. Akan tetapi
karena kerawanan pangan sering terjadi dibanyak negara yang sedang berkembang, maka negara-negara
industri berusaha mengembangkan teknologi
“revolusi hijau” untuk mencukupi kebutuhan pangan dunia. Sebagai
konsekwensi dikembangkannya teknologi “revolusi hijau” maka kearifan lokal/
pengetahuan tradisional yang berkembang sesuai dengan budaya setempat mulai
terdesak bahkan mulai dilupakan. Teknologi modern yang mempunyai ketergantungan
tinggi terhadap bahan agrokimia seperti pupuk dan pestisida kimia serta bahan
kimia pertanian lainnya lebih diminanti petani daripada melaksanakan pertanian
yang akrab lingkungan (S. Sabastian
Eliyas, 2008).
Pertanian organik sebagai bagian pertanian akrab lingkungan perlu segera
dimasyarakatkan atau diingatkan kembali sejalan makin banyak dampak negatif
terhadap lingkungan yang terjadi akibat dari penerapan teknologi intensifikasi
yang mengandalkan bahan kimia pertanian. Disamping itu, makin meningkatkanya
jumlah konsumen produksi bersih dan menyehatkan serta meluasnya gerakan “ green
consumer ” merupakan pendorong segera disosialisasikan gerakan pertanian organik. Gerakan pertanian
organik di Indonesia dipelopori oleh Organisasi Non Pemerintah (ORNOP) yang
kemudian menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta dipercepat dengan
adanya program ekolabel dan Internasional Standart Organik (ISO) 14000 (Sutanto
Rachman, 2002)
Upaya melakukan gerakan pertanian organik mulai berkembang di Indonesia
sejalan dengan perkembangan pertanian
organik dunia. Konsumen negara-negara maju menjadi pemicu awal dan inspirasi
dari bergulirnya pertanian organik ini. Di Indonesia, pertanian organik menjadi
“tren” karena tumbuhnya kesadaran
konsumen untuk mengkonsumsi produk yang aman dan sehat. Selain itu, proses
produksinya juga cukup bersahabat dengan lingkungan. Tanpa disadari, di
Indonesia telah berkembang praktek pertanian organik untuk berbagai komoditas
seperti beras, sayuran dan buah-buahan
walaupun kenyataannya bahwa
secara kualitas beberapa dari produk ini belum memenuhi persyaratan baku SNI (
Standar Nasional Indonesia) yang bertujuan untuk memberikan perlindungan
terhadap produk organik yang dihasilkan petani
(Prasetio Y.T, 2006).
Tentu pemerintah tidak mau ketinggalan respons. Kemudian, sebagai bentuk
dukungan pemerintah terhadap gerakan pertanian organik di Indonesia dilakukan
melalui Departemen Pertanian yang telah
mencanangkan beberapa paket kebijakan degan motto; “ Go Organic 2010 ” yang bertujuan
menjadikan Indonesia sebagai produsen pangan organik yang permintaan
pasarnya cendrung meningkat dengan signifikan (S. Sabastian Eliyas, 2008).
Indonesia pernah menjadi negara
pengimpor beras terbesar di dunia. Indonesia menjadi “ price leading “ dalam
perdagangan beras Internasional. Artinya, hagar beras dipasaran dunia
ditentukan oleh pemerintah Indonesia. Pada tahun 1960, impor beras Indonesia
terus mencapai 0,6 jutan ton. Pada tahun-tahun berikutnya impor beras Indonesia
terus melonjak hingga puncaknya terjadi pada tahun 1980 yakni mencapai 2 juta ton. Jumlah impor beras
Indonesia mulai menurun pada tahun 1981 hingga tahun 1984. Pada tahun 1990
tercatat produksi beras nasional sudah mencapai
45,176 juta ton gabah kering giling (GKG) atau kira-kira sentra 29 juta
ton beras. Lima tahun kemudian, angka produksi mencapai 49,449 juta ton (GKG)
(Arifin. B. 2007).
Proses pencapaian swasembada beras tak lepas dari penerapan dan innovási
teknologi yang dikembangkan pemerintah, misalnya dalam penggunaan benih unggul,
teknologi pemupukan, pengendalian organisme pengganggu, pengolahan tanah. Dalam
kaitannya dengan status beras sebagai comoditas “strategis” maka taraf
swasembada harus tetap dimantapkan dan dilestarikan (Prasetio Y.T, 2006).
Strategi atau industrialisasi yang dipimpin permintaan petani terdiri dari
pembangunan pasar konsumsi masal domestik dengan cara memperbaiki produktivitas
pertanian skala kecil dan menengah. Pertanian skala kecil dan menengah memiliki
efek kaitan yang lebih besar dengan industri domestik dibanding dengan pertanian skala besar
sementara juga memiliki tingkat produktivitas yang tinggi. Usaha-usaha
pertanian yang lebih kecil adalah padat karya dan menggunakan alat-alat dan
permesinan domestik. Petani-petani kecil memiliki kecenderungan konsumsi
marginal yang lebih besar, dan bagian marginal lebih besar dari konsumsi mereka
diarahkan ke tekstil produksi lokal, pakaian, alas kaki dan alat-alat konsumsi
yang sederhana seperti lemari es, sepeda, mesin jahit, dan alat-alat
elektronik yang sederhana. Juga mereka cenderung mengadakan banyak penanaman
dalam pembangunan modal manusia, dengan mengeluarkan bagian besar dari
penghasilan mereka untuk pendidikan (TB.
Tulus , 2003).
Penggunaan input secara baik akan
menghasilkan produksi yang semakin meningkat dan seiring dengan peningkatan
keuntungan masyarakat. Sehingga dengan keuntungan yang meningkat akan
mewujudkan peningkatan laju pembangunan ekonomi negara dan merangsang
pertumbuhan ekonomi, maka tujuan ini berkaitan dengan lebih menekankan pada
biaya produksi. Dengan meningkatkan produktivitas tenaga kerja akan
meningkatkan produksi beras ( Soekartawi, 2001).
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas, tujuan penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
a. Untuk
mengetahui berapa besar perbedaan pendapatan petani organik dan petani
anorganik (konvensional) pada tanaman padi sawah di daerah penelitin.
b. Manakah
yang layakan antara petani organik dan anorganik (konvensional) pada tanaman
padi sawah di daerah penelitian
Tinjauan Pustaka
Pengertian petani organik dan anorganik
Pertani organik adalah petani yang
melakukan pengolahan lahan dengan didasarkan pada proses sumber daya alam
menurut siklus kehidupan, dengan sistem yang membudaya untuk memproduksi
tanaman dengan kondisi pertumbuhan yang baik dan sehat. Pertanian organik
meliputi kegiatan seperti bertani dengan menggunakan kompos, kotoran ternak dan
bahan organik lainnya sehingga dapat membangun siklus kehidupan secara alamiah.
Sistem
pertanian organik berpijak pada kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan
produksi dengan memperhatikan kemampuan alami dari tanah, tananaman, dan hewan
untuk menghasilkan kualitas yang baik bagi hasil pertanian dan lingkungan.
Menurut IFOAM (International Federation
of Organik Agriculture Movements),
tujuan yang hendak dicapai dengan penggunaan system pertanian organik adalah
sebagai berikut:
1. Menghasilkan bahan pangan
dengan kualitas nutrisi tinggi serta dalam jumlah cukup.
2. Melaksanakan interaksi
efektif dengan sistem dan daur alamiah
yang mendukung semua bentuk kehidupan yang ada.
3. Mendorong dan meningkatkan
daur ulang dalam sistem usaha tani dengan mengaktifkan kehidupan jasad renik,
flora dan fauna, tanah, tanaman, serta hewan.
4.
Memelihara serta
meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan.
5.
Menggunakan sebanyak
mungkin sumber-sumber terbarui yang berasal dari sistem usaha tani itu
sendiri.
6.
Memanfaatkan
bahan-bahan yang mudah didaur ulang baik didalam maupun diluar usahatani.
7.
Menciptakan
keadaan yang memungkinkan ternak hidup sesuai dengan perilaku yang hakiki.
8.
Membatasi terjadinya
semua bentuk pencemaran lingkungan yang mungkin dihasilkan oleh kegiatan
pertanian.
9. Mempertahankan keanekaragaman hayati
termasuk pelestarian habitat tanaman dan hewan.
10. Mempertimbangkan dampak yang lebih luas dari kegiatan
usaha tani terhadap kondisi fisik dan sosial (Wartaya Winagun Y, 2005)
Petani anorganik
(konvensional) cendrung menggunakan pupuk kimia dan memaksa tanaman tumbuh,
tetapi hasil dari sistem ini adalah menambah kerentanan tanaman terhadap hama
dan penyakit yang mengakibatkan menaiknya kebutuhan tambahan bahan kimia
berbahaya lainnya. Sistem ini juga melawan proses alamiahnya alam secara turun
temurun, sehingga masalah serupa akan terjadi terus menerus ( TB. Tulus, 2003).
Konsep Pertanian Organik
Konsep pertanian organik adalah
tidak berbeda dengan pertanian berkelanjutan, tetapi aplikasinya mungkin berjalan
sesuai dengan pemahaman individu. Bahkan kata berkelanjutan sekarang dipakai
dalam lingkungan pembangunan, ketika kata ini sudah diartikan sebagai menjaga
suatu upaya agar terus berlangsung, dan tidak menjadi merosot. Disektor
pertanian organik, berkelanjutan ditafsir sebagai usaha mengelolah sumber daya
alam untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia dengan tetap melestarikan
lingkungan dan sumber daya alam, juga adanya kegiatan pengelolahan lahan
sebagai campur tangan manusia, untuk kemudian ditanami dengan berbagai jenis
tanaman yang menghasilkan, sebagai bahan makanan manusia dan mahkluk hidup
lainnya (Susanto Rachman, 2002).
Penerapan Pertanian Organik
Perlunya diterapkan pertanian organik
ke petani supaya mereka berkeinginan
untuk menanam tanaman tanpa pengaruh
atau dampak kimia berbahaya, kemudian mulai diterapkan dalam pengembangan “
pertanian organik”. Sehingga, defenisi umum tentang pertanian organik adalah
sistem pengembangan tanam yang
menggunakan bahan organik ke dalam tanah seperti kompos, kotoran ayam, dan
sumber pupuk organik lainnya, juga terbebas dari bahan kimia, insektisida kimia, dan pestisida
kimia. Prinsip seperti ini didasarkan pada keyakinan bahwa ketika kompos dan
kotoran binatang yang berkwalitas diberikan kepada tanah, mikroorganisme
menjadi kuat dan berkembang biak, kemudian secara alami akan menambah daya
tahan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit, sehingga memutus kebutuhan
akan bahan-bahan kimia pertanian. Dengan demikian, penggunaan bahan
organik membuat pupuk kimia menjadi tidak berguna (S. Sabastian Eliyas, 2008).
Hipotesis
Berdasarkan masalah dan
tujuan penelitian serta kerangka penelitian maka hipotesis dari penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Ada
perbedaan pendapatan antara petani organik dengan petani anorganik (konvensional)
tanaman padi sawah
2. Petani
organik lebih layak dari pada petani
anorganik ( konvensional ) pada tanaman padi sawah.
Metode Analisis
a.
Untuk menguji
hipotesis pertama akan dianalisa dengan
uji validitas (kesahihan) dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
th
=
S2gab =
S2 =
Dimana :
= nilai
sampel petani organik
= nilai
sampel petani anorganik (konvensional)
= rata-rata petani organik
= rata-rata
petani anorganik (konvesional)
S = standart deviasi
gap = gabungan
untuk pengujian hipotesis pertama digunakan uji t, dengan
kriteria sebagai
berikut:
t hitung > t tabel Ho
ditolak dan H1 diterima maka hipotesis diterima (a = 0.05 % )
t hitung < t tabel Ho
diterima dan H1 ditolak (a = 0.05 % )
(Husaini Usman, 2006)
b.
Untuk menguji
hipotesis kedua digunakan rumus sebagai berikut :
R/C ratio =
Untuk pengujian
hipotesis kelayakan usaha, dengan kriteria:
Apabila R/C ratio > 1, maka hipotesis diterima,
dikatakan layak diusahakan.
Apabila R/C ratio < 1, maka
hipotesis ditolak, tidak layak
(Soekartawi, 2003)
Hasil Dan Pembahasan
1.
Hasil Analisis dan Perhitungan
Hipotesis Terhadap Petani Organik dan
Anorganik.
Tabel 1. Daftar
Analisa Usaha Tani
Rata-Rata Usaha Tani
|
Petani Organik
|
Petani Anorganik
|
Luas
Lahan
|
12.56 Hektar
|
8.96 Hektar
|
Pupuk
|
251.0 Kg
|
71.68 Kg
|
Pestisida
|
2009.60 cc
|
358.40 cc
|
ZPT
|
251.20 cc
|
179.20 cc
|
Jumlah
Tenaga Kerja
|
86.66 HKSP
|
61.82 HKSP
|
Keuntungan
|
Rp. 4.268.019,44
|
Rp. 1.568.244,00
|
2.
Perbandingan Luas Lahan
Terhadap Petani Organik dan Anorganik
Dari daftar tabel 1 diketahui
bahwa jumlah rata-rata luas lahan yang menjadi petani organik seluas 12.56
hektar dan yang menjadi petani anorganik seluas 8.96 hektar. Berdasarkan hasil
dari analisa statistik untuk luas lahan diperoleh t hitung > t tabel (10.58 > 1.71) dengan taraf kenyataan a = 0.05 % dengan kata lain bahwasanya
t hitung > t tabel sehingga hipotesis yang menyatakan adanya perbedaan luas
lahan antara petani organik dan anorganik diterima.
Dimana luas lahan
petani organik lebih luas dari petani anorganik karena petani organik luas
lahannya masih ada diatas 1 hektar sedangkan petani anorganik luas lahannya
masih di bawah 1 hektar.
3.
Perbandingan Pupuk Terhadap
Petani Organik dan Anorganik
Dari daftar tabel 1 diketahui
bahwa jumlah rata-rata pupuk yang digunakan petani organik sebesar 251.20 kg
dan yang digunakan petani anorganik sebesar 71.68 kg. Berdasarkan hasil dari
analisa statistik untuk penggunaan pupuk diperoleh t hitung > t tabel (28.67 > 1.71) dengan taraf kenyataan a = 0.05 % dengan kata lain
bahwasanya t hitung > t tabel sehingga hipotesis yang menyatakan adanya
perbedaan penggunaan pupuk antara petani organik dan anorganik diterima.
Dimana dari
penggunaan pupuk bagi petani organik lebih banyak sesuai dengan luas lahan dan harga pupuk murah dengan harga
Rp.1.000/kg – Rp 1.500/kg, sedangkan
untuk petani anorganik pupuk yang digunakan lebih sedikit sesuai dengan kebutuhan lahan dan harga pupuk lebih mahal dengan
harga Rp.2.500/kg – Rp. 4.000/kg.
4.
Perbandingan Pestisida
Terhadap Petani Organik dan Anorganik
Dari daftar tabel 1 diketahui
bahwa jumlah rata-rata pestisida yang digunakan petani organik adalah pestisida
nabati sebanyak 2009.60 cc dan yang digunakan petani
anorganik adalah pestisida kimia sebanyak 358.40 cc. Berdasarkan hasil dari
analisa statistik untuk penggunaan pestisida diperoleh t hitung > t tabel
(33.33 > 1.71) dengan taraf kenyataan a = 0.05 % dengan kata lain
bahwasanya t hitung > t tabel sehingga hipotesis yang menyatakan adanya
perbedaan penggunaan pestisida antara petani organik dan petani anorganik
diterima (Lampiran 13).
Dimana dari
penggunaan pestisida bagi petani organik lebih banyak sesuai dengan luas
lahan dan harga pestisida sebesar
Rp.15/cc – Rp 20/cc, sedangkan untuk
petani anorganik pestisida yang
digunakan lebih sedikit sesuai dengan kebutuhan lahan dan harga pestisida
sebesar Rp.25/cc – Rp. 75/cc .
5.
Perbandingan Zat Perangsang
Tumbuh (ZPT) Terhadap Petani Organik dan Anorganik
Dari daftar tabel 1 diketahui
bahwa jumlah rata-rata ZPT yang digunakan petani organik adalah sebanyak
249.20 cc dan yang digunakan petani anorganik adalah sebanyak 179.20 cc.
Berdasarkan hasil dari analisa statistik untuk penggunaan ZPT diperoleh t
hitung > t tabel ( (10.20 > 1.71)
dengan taraf kenyataan a = 0.05 % dengan kata lain bahwasanya
t hitung > t tabel sehingga hipotesis yang menyatakan adanya perbedaan
penggunaan ZPT antara petani organik dan petani anorganik diterima.
Dimana dari
penggunaan ZPT bagi petani organik lebih banyak sesuai dengan luas lahan dan harga ZPT sebesar Rp.25/cc – Rp
40/cc, sedangkan untuk petani anorganik
ZPT yang digunakan lebih sedikit sesuai
dengan kebutuhan lahan dan harga ZPT sebesar Rp.25/cc – Rp. 60/cc .
6.
Perbandingan Tenaga Kerja
Terhadap Petani Organik dan Anorganik
Dari daftar tabel 1 diketahui
bahwa jumlah rata-rata tenaga kerja yang digunakan petani organik adalah tenga
kerja sebanyak 86.66 HKSP dan yang digunakan petani
anorganik adalah tenaga kerja sebanyak 61.82 HKSP. Berdasarkan hasil dari
analisa statistik untuk penggunaan tenaga kerja diperoleh t hitung > t tabel
( (10.52 > 1.71) dengan taraf kenyataan a = 0.05 % dengan kata lain
bahwasanya t hitung > t tabel sehingga hipotesis yang menyatakan adanya
perbedaan penggunaan tenaga kerja antara petani organik dan petani anorganik
diterima.
Dimana dari
penggunaan tenaga kerja bagi petani organik lebih banyak sesuai dengan luas
lahan dan upah tenaga kerja sebesar
Rp.30.000/orang – Rp 40.000/orang,
sedangkan untuk petani anorganik tenaga kerja yang digunakan lebih sedikit sesuai dengan
kebutuhan lahan dan upah tenaga kerja sebesar Rp.30.000/orang – Rp 40.000/orang
.
7.
Perbandingan Kelayakan
Terhadap Petani Organik dan Anorganik
Total pendapatan diperoleh
dari total penerimaan dikurangi dengan total biaya suatu produksi/penjualan.
Sedangkan total penerimaan diperoleh dari perkalian jumlah tanaman yang terjual
dengan harga jual tanaman tersebut.
Dari hasil
penelitian diperoleh nilai R/C rata-rata keuntungan yang didapat petani organik
adalah sebesar 2.27 dan yang didapat
petani anorganik adalah sebesar 1.66. Berdasarkan hasil dari nilai R/C dapat
diketahui bahwa usaha petani organik layak di usahakan karena nilai R/C lebih
besar dari satu ( 2.27 > 1) dan usaha petani anorganik masih layak di
usahakan karena nilai R/C lebih besar dari satu ( 1.66 > 1).
Dimana dari nilai
R/C ratio rata-rata keuntungan petani organik dan petani anorganik dapat
diartikan semakin besar R/C ratio maka semakin besar pula keuntungan yang
diperoleh. Dari analisa perbandingan R/C ratio ternyata R/C yang paling besar
adalah petani organik sebesar 2.27 dan petani
anorganik sebesar 1.66 ( 2.27
> 1.66).
8.
Perbandingan Keuntungan
Terhadap Petani Organik dan Anorganik
Total Keuntungan
diperoleh dari total penerimaan dikurangi dengan total biaya suatu
produksi/penjualan.
Dari hasil
penelitian diperoleh total keuntungan yang didapat petani organik adalah
sebesar Rp. 4.268.019,44 dan total
keuntungan yang didapat dari petani anorganik adalah sebesar Rp. 1.568.244,00.
Berdasarkan hasil dari total keuntungan dapat diketahui bahwa petani organik
lebih menguntungkan dibandingkan dengan petani anorganik.
Dimana dari total
rata-rata keuntungan petani organik dan petani anorganik dapat dilihat selisih
total keuntungan sebesar Rp. 2.699.775,44
Kesimpulan
Dari hasil penelitian diatas dapat
disimpulkan:
1)
Jumlah rata-rata luas lahan yang menjadi petani organik seluas 12.56 rante
dan yang menjadi petani anorganik seluas 8.96 rante. Berdasarkan hasil dari
analisa statistik untuk luas lahan diperoleh t hitung > t tabel ( (10.58
> 1.71) dengan taraf kenyataan a = 0.05 % dengan kata lain
bahwasanya t hitung > t tabel sehingga hipotesis yang menyatakan adanya
perbedaan luas lahan antara petani organik dan anorganik diterima.
2)
Jumlah rata-rata pupuk yang digunakan petani organik sebesar 251.20 kg dan
yang digunakan petani anorganik sebesar 71.68 kg. Berdasarkan hasil dari
analisa statistik untuk penggunaan pupuk diperoleh t hitung > t tabel (
(28.67 > 1.71) dengan taraf kenyataan a = 0.05 % dengan kata lain
bahwasanya t hitung > t tabel sehingga hipotesis yang menyatakan adanya
perbedaan penggunaan pupuk antara petani organik dan anorganik diterima.
3)
Jumlah rata-rata pestisida yang digunakan petani organik adalah pestisida
nabati sebanyak 2009.60 cc dan yang digunakan petani
anorganik adalah pestisida kimia sebanyak 358.40 cc. Berdasarkan hasil dari
analisa statistik untuk penggunaan pestisida diperoleh t hitung > t tabel ( (33.33 > 1.71) dengan taraf
kenyataan a = 0.05 % dengan kata lain
bahwasanya t hitung > t tabel sehingga hipotesis yang menyatakan adanya
perbedaan penggunaan pestisida antara petani organik dan petani anorganik
diterima.
4)
Jumlah rata-rata ZPT yang digunakan petani organik adalah ZPT sebanyak
249.20 cc dan yang digunakan petani anorganik adalah ZPT sebanyak 179.20
cc. Berdasarkan hasil dari analisa statistik untuk penggunaan ZPT diperoleh t
hitung > t tabel ( (10.20 >
1.71) dengan taraf kenyataan a = 0.05 % dengan kata lain bahwasanya
t hitung > t tabel sehingga hipotesis yang menyatakan adanya perbedaan
penggunaan ZPT antara petani organik dan petani anorganik diterima.
5)
Jumlah rata-rata tenaga kerja yang digunakan petani organik adalah tenga
kerja sebanyak 86.66 HKSP dan yang digunakan petani
anorganik adalah tenaga kerja sebanyak 61.82 HKSP. Berdasarkan hasil dari
analisa statistik untuk penggunaan tenaga kerja diperoleh t hitung > t tabel ( (10.52 > 1.71) dengan taraf
kenyataan a = 0.05 % dengan kata lain
bahwasanya t hitung > t tabel sehingga hipotesis yang menyatakan adanya
perbedaan penggunaan tenaga kerja antara petani organik dan petani anorganik
diterima.
6)
Nilai R/C rata-rata keuntungan yang didapat petani organik adalah sebesar
2.27 dan yang didapat petani anorganik
adalah sebesar 1.66. Berdasarkan hasil dari nilai R/C dapat diketahui bahwa
usaha petani organik layak di usahakan karena nilai R/C lebih besar dari satu (
2.27 > 1) dan usaha petani anorganik masih layak di usahakan karena nilai
R/C lebih besar dari satu ( 1.66 > 1)
7)
Nilai total keuntungan yang didapat petani organik adalah sebesar Rp.
4.268.019,44 dan yang didapat petani anorganik adalah sebesar Rp. 1.568.244,00.
Dari perbandingan pendapatan petani organik dan petani anorganik pada padi
sawah maka, pendapatan yang lebih besar adalah pada petani organik. Total
rata-rata keuntungan petani organik dan petani anorganik dapat dilihat selisih
total keuntungannya sebesar Rp.
2.699.775,44
Daftar Pustaka
Arifin
Bustanul, 2007. Diagnosisi Ekonomi
Politik Pangan dan Pertanian. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Prasetio Y.T,
2006. Budidaya Tanaman Padi Tanpa Olah
Tanah (T.O.T). Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
S. Sabastian Eliyas , 2008. Pertanian Organik. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Soekartawi,
2001. Pembangunan Pertanian Teori dan
Aplikasi. Rajawali Pers, Jakarta.
Soekartawi,
2003. Agribisnis Teori dan Aplikasi.
Rajawali Pers, Jakarta.
Sutanto Rachman,
2002. Pertanian Organik. Kanisius, Yogyakarta.
TB Tulus, 2003.
Perkembangan Sektor Pertanian Indonesia. Penerbit
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Usman Husaini,
2006. Pengantar Statistika. Bumi Aksara,
Jakarta.
Wartaya Winagun
Y, 2005. Membangun Karakter Petani
Organik Sukses dalam Era Globalisasi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Suratiyah.K.
2008 Ilmu usaha Tani Penerbit Kanisius.Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar