Mari Berusaha, Berdo'a Kemudian Tawakal

Saya Hanya Manusia Biasa

Selasa, 03 November 2020

KARAKTERISASI MORFOLOGIS Trichoderma spp. INDIGENUS

JURNAL AGROTEKNOS Juli 2014
Vol. 4 No. 2. Hal 87-93
ISSN: 2087-7706
 
KARAKTERISASI MORFOLOGIS Trichoderma spp. INDIGENUS
 
SULAWESI TENGGARA
Morphological Characterization Trichoderma spp . Indigenous
Southeast of Sulawesi
GUSNAWATY HS
*)
, MUHAMMAD TAUFIK, LENI TRIANA, DAN ASNIAH
 
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari
ABSTRACT
This study aimed to determine differences in the morphological characteristics of
isolates of Trichoderma spp indigenous of Southeast Sulawesi. The experiment was
conducted at the Laboratory of Agro Technology, Unit of Plant Pest and Disease, Faculty of
Agriculture, University of Halu Oleo, Kendari.  This study used 11 isolates of trichoderm
indegenous of Southeast Sulawesi. Observation variables were macroscopic characteristics,
including: colony color and form, and microscopic characteristics, including: form of
conidiophores, fialid and and conidia.  The research results showed that the 11 isolates of
Trichoderma spp indigenous of Southeast Sulawesi had different morphological
characteristics. Types of  Trichoderma spp obtained out of the 11 isolates were T. hamantum,
T. koningii, T. harzianum, T. polysporum and T. aureoviride.
Keywords : characterization, indigenous Southeast of Sulawesi, Trichoderma spp.
 
 
1
PENDAHULUAN
 Cendawan Trichoderma sp. merupakan
mikroorganisme tanah bersifat saprofit yang
secara alami menyerang cendawan patogen
dan bersifat menguntungkan bagi tanaman.
Cendawan Trichoderma sp. merupakan salah
satu jenis cendawan  yang banyak dijumpai
hampir pada semua jenis tanah dan pada
berbagai habitat yang merupakan salah satu
jenis cendawan yang dapat dimanfaatkan
sebagai agens hayati pengendali patogen
tanah. Cendawan ini dapat berkembang biak
dengan cepat pada daerah perakaran
tanaman.
 Spesies Trichoderma sp. disamping sebagai
organisme pengurai, dapat pula berfungsi
sebagai agens hayati. Trichoderma sp. dalam
peranannya sebagai agens hayati bekerja
berdasarkan mekanisme antagonis yang
dimilikinya (Wahyuno et al., 2009).
Purwantisari (2009), mengatakan bahwa
Trichoderma sp. merupakan cendawan parasit
yang dapat menyerang dan mengambil nutrisi
                                                             
*)
 Alamat korespondensi:
   Email : gusna_hs@yahoo.co.id
dari cendawan lain. Kemampuan dari
Trichoderma sp. ini yaitu mampu memarasit
cendawan patogen tanaman dan bersifat
antagonis, karena memiliki kemampuan untuk
mematikan atau menghambat pertumbuhan
cendawan lain.
 Mekanisme yang dilakukan oleh agens
antagonis Trichoderma sp. terhadap patogen
adalah mikoparasit dan antibiosis selain itu
cendawan Trichoderma sp. juga memiliki
beberapa kelebihan seperti mudah diisolasi,
daya adaptasi luas, dapat tumbuh dengan
cepat pada berbagai substrat, cendawan ini
juga memiliki kisaran mikroparasitisme yang
luas dan tidak bersifat patogen pada tanaman
(Arwiyanto, 2003). Selain itu, mekanisme yang
terjadi di dalam tanah oleh aktivitas
Trichoderma sp. yaitu kompetitor baik ruang
maupun nutrisi, dan sebagai mikoparasit
sehingga mampu menekan aktivitas patogen
tular tanah (Sudantha et al., 2011).
 Kemampuan masing-masing spesies
Trichoderma sp. dalam mengendalikan
cendawan patogen berbeda-beda, hal ini
dikarenakan morfologi dan fisiologinya   
berbeda-beda (Widyastuti, 2006). Beberapa
spesies Trichoderma sp. telah dilaporkan
88 GUSNAWATY ET AL.  J. AGROTEKNOS
sebagai agens hayati adalah T. harzianum, T.
viridae, dan T. koningii yang tersebar luas pada
berbagai tanaman budidaya (Yuniati, 2005).
Beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa
Trichoderma sp. dapat mengendalikan patogen
pada tanaman diantaranya Rhizoctonia oryzae
yang menyebabkan rebah kecambah pada
tanaman padi (Semangun, 2000), Phytopthora
capsici penyebab busuk pangkal batang pada
tanaman lada (Nisa, 2010), dan dapat
menekan kehilangan hasil pada tanaman
tomat akibat Fusarium oxysporum (Taufik,
2008).
 Penggunaan agens hayati dalam
pengendalian penyakit tumbuhan bersifat
spesifik. Erwanti (2003) menyatakan bahwa,
pengendalian hayati bersifat spesifik lokal
yaitu mikroorganisme antagonis yang
terdapat di suatu daerah hanya akan
memberikan hasil yang baik di daerah asalnya.
Telah dilaporkan bahwa isolat Trichoderma
sp. yang berasal dari Kalimantan Selatan
memiliki kemampuan yang lebih baik untuk
mengendalikan penyakit hawar pelepah daun
padi dibandingkan dengan isolat Trichoderma
sp. asal Yogyakarta di lahan pasang surut
daerah Kalimantan Selatan (Prayudi et al.,
2000). Hal tersebut membuktikan bahwa
isolat lokal (Indigenos) memiliki kemampuan
adaptasi yang tinggi dan berpotensi yang lebih
baik dalam menekan patogen yang terdapat di
daerah asalnya dibanding menggunakan isolat
yang berasal dari daerah lain.
 
 Faulika (2013) dan Herman (2013) telah
mendapatkan 11 isolat Trichoderma spp. dari
hasil eksplorasi dan menguji kemampuannya
sebagai agens hayati secara in vitro, namun
spesies dari setiap isolat tersebut belum
diketahui. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian tentang karakterisasi morfologis
Trichoderma sp. indigenos Sulawesi Tenggara
untuk mengetahui spesies dari isolat tersebut.
METODE PENELITIAN
 Peremajaan isolat Trichoderma spp.
indigenos Sulawesi Tenggara. Sebelas isolat
Trichoderma spp. yang sudah diperoleh dari
hasil penelitian Faulika (2013) dan Herman
(2013) ditumbuhkan kembali pada media PDA
dan diinkubasi selama 7 hari. Isolat murni
yang berumur 7 HSI selanjutnya dilakukan
pengenceran 10
-5
 lalu disebar pada media PDA
baru dengan tujuan untuk mendapatkan
koloni tunggal Trichoderma sp., kemudian
diperbanyak dengan cara mengambil 1 corp
borrer setiap isolat dibiakan pada media PDA
dan diinkubasi selama 7 hari, setiap isolat
diulang sebanyak 3 kali dan setiap ulangan
ada 3 unit sehingga keseluruhan menjadi 99
unit penelitian.
Berikut ke-11 isolat Trichoderma indigenos
Sulawesi Tenggara yang akan dikarakteristik
berdasarkan morfologinya dapat dilihat pada
Tabel 1
.
Tabel 1. Sumber Isolat Trichoderma spp indigenos Sulawesi Tenggara (Faulika, 2013 dan Herman, 2013)
No. Kode Isolat Lokasi (Desa/Kec/Kab) Vegetasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
ASL
DKP
DPA
DKT
APS
LPS
LKO
BPS
LKP
LTB
LKA
Asunde/Besulutu/Konawe
Duriasi/Konawe
Duriasi/Konawe  
Duriasi/Konawe
Ameroro/Konawe
Loea/Tirawuta/Kolaka
Lapai/Ngapa/Kolut
Baruga/Watubangga/Konawe
Loea/Tirawuta/Kolaka
Lamooso/Konsel
Leleuta/Ngapa/kolut
Lada
Kacang Panjang
Paria
Ketimun
Padi Sawah
Padi sawah
Kakao
Padi sawah
Kacang Panjang
Tebu
Kakao


Identifikasi isolat cendawan Trichoderma
spp.. Pengamatan morfologi isolat yang
diperoleh dilakukan secara makroskopis dan
mikroskopis. Menurut Kartika (2012), bahwa
karakterisasi (identifikasi) morfologi
cendawan dilakukan atas dasar karakteristik
pemurnian melalui kultur koloni tunggal.
Pembuatan kultur spora tunggal menurut
Vol. 4 No.2, 2014  Karakterisasi Morfologis Trichoderma Spp. Indigenus 89
Tamin et al., (2012), bertujuan untuk
mendapatkan spora yang berasal dari satu
jenis yang sama. Karakterisasi morfologi
cendawan Trichoderma sp. mengacu pada
buku identifikasi Watanabe (2002) dan
Domsch et al., (1980). Secara makroskopis
meliputi bentuk, warna koloni dan diameter
pertumbuhan cendawan Trichoderma sp..
Pengamatan dilakukan setiap hari selama 7
hari pada biakan cendawan Trichoderma sp.,
sedangkan secara mikroskopis yang diamati
meliputi bentuk konidiofor, fialid dan konidia
dengan metode mikrokultur (slide culture).
Adapun prosedur dalam pembuatan
mikrokultur (slide culture) untuk identifikasi
cendawan secara mikrokopis, yaitu:  cawan
Petri disiapkan dengan bagian dalamnya
diberi tissue berbentuk bundar (Φ 9 cm).
Aquades steril diteteskan pada bagian tissue
dalam cawan petri untuk memberikan
 
kelembaban yang optimum bagi pertumbuhan
jamur. Pada bagian atas tissue tersebut
diletakkan dua buah pipet, selanjutnya di atas
pipet tersebut diletakkan sebuah kaca objek
yang diberi 1 tetes jus jeruk dan ditumbuhkan
spora  cendawan Trichoderma spp. kemudian
ditutup dengan kaca penutup. Mikrokultur
tersebut diinkubasi dalam suhu ruangan
selama 3 hari, dilakukan pengamatan
menggunakan mikroskop dan selama
pengamatan selalu dijaga kelembapannya
dengan menambahkan aquades steril apabila
tissue mulai mengering.
HASIL DAN PEMBAHASAN
 Karakterisasi Trichoderma spp. secara
makroskopis meliputi warna koloni dan
bentuk koloni yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan warna koloni selama 7 hari dan bentuk koloni setiap isolat
Waktu Pengamatan Ke- HIS

1 2 3 4 5 6 7
 
ASL Putih Putih
Putih
kuning agak
kehijauan
Putih
Kuning
agak
kehijauan
Hijau
muda agak
kekuningan
Hijau
muda agak
kekuningan
Hijau
kekuningan
Bulat
DKP Putih
Putih agak
kehijauan
Putih
kehijauan
Hijau
muda
Hijau
Muda
Hijau Hijau tua Bulat
DPA Putih
Putih agak  
kehijauan
Putih
kehijauan
Hijau
muda
Hijau
Muda
Hijau Hijau tua Bulat
DKT Putih Putih
Putih agak
kehijauan
Hijau
muda
Hijau
Muda
Hijau Hijau tua Bulat
APS Putih Putih
Putih agak
kehijauan
Hijau
muda
Hijau
Muda
Hijau Hijau tua Bulat
LPS Putih
Putih agak   
kehijauan
Putih
kehijauan
Hijau
muda
Hijau Hijau Hijau tua Bulat
LKO Putih Putih
Putih
kehijauan
Hijau
muda
Hijau Hijau Hijau tua Bulat
BPS Putih
Putih agak  
kehijauan
Putih
kehijauan
Hijau
muda
Hijau Hijau Hijau tua Bulat
LKP Putih
Putih agak   
kehijauan
Putih hijau
kekuningan
Putih hijau
kekuningan
Putih hijau
agak
kekuningan
Hijau Hijau tua Bulat
LTB Putih Putih
Putih agak
kehijauan
Hijau
muda
Hijau Hijau Hijau tua Bulat
LKA Putih
Putih agak
kehijauan
Putih agak  
kehijauan
Hijau
muda
Hijau Hijau Hijau tua Bulat

Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 11
isolat Trichoderma spp. indigenos Sulawesi
Tenggara yang dikarakterisasi berdasarkan
morfologinya terjadi perkembangan warna
koloni yang berbeda dari hari ke-1 sampai
hari ke-7. Perkembangan warna koloni diawali
Isolat
 
Bentuk
Koloni
90 GUSNAWATY ET AL.  J. AGROTEKNOS
dengan warna putih, putih agak kehijauan,
hijau muda, hijau dan hijau tua setelah umur 7
hari, namun pada isolat ASL warna koloni
yang terlihat dari hari ke-3 hingga ke-7
terdapat warna kekuningan, sedangkan pada
isolat LKP warna kekuningan hanya terlihat
 
sampai hari ke-5. Koloni yang terbentuk dari
semua isolat adalah bulat.
 Karakterisasi secara mikroskopis yakni
bentuk konidiofor, fialid dan konidia (Tabel. 3)
menggunakan buku identifikasi Watanabe
(2002) dan Domsch et al., (1980)
Tabel 3. Spesies Trichoderma sp. dari 11 isolat berdasarkan bentuk konidiofor, fialid dan konidia
No. Spesies Isolat
Mikroskopis
Konidiofor
Fialid
Konidia
1. T.  hamantum ASL
Tegak,
bercabang
Pendek, tebal Oval
2. T. koningii DKP, DPA, DKT, APS
Tegak,  
bercabang
Kecil, lancip Oval
 
3. T. harzianum LPS, LKO, BPS
Tegak,  
bercabang
Pendek, lebih
tebal
Oval
4. T. polysporum LKP Bercabang
Panjang,  
luas
Oval
5. T. aureoviride LTB, LKA Bercabang
Pendek, tebal,
vertikal
Oval
 
 Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 11 isolat
Trichoderma spp. diperoleh lima spesies yang
berbeda yaitu T. hamantum T. koningii T.
harzianum T. polysporum T. aureoviride
.  
 
Gambar 1.  Trichoderma hamantum; (a) koloni pada media PDA, (b) konidiofor, (c) fialid, dan (d) konidia
(Sumber: Data primer)
 Gambar 1 menunjukkan bahwa isolat
tersebut memiliki bentuk konidiofor yang
dikembangkan pada struktur bantal
berbentuk tegak, bercabang yang tersusun
vertikal. Fialid pendek dan tebal, konidia hijau
muda, berdinding halus dan berbentuk oval.
Koloni pada media PDA berwarna putih
awalnya, kemudian hijau kekuningan dan
berbentuk bulat. Koloni pada media PDA
mencapai diameter lebih dari 7 cm dalam
waktu lima hari. Isolat tersebut sesuai dengan
karakteristik Trichoderma hamantum
(Watanabe, 2002; Domsch et al.,1980).
 
a
b
c d
Vol. 4 No.2, 2014  Karakterisasi Morfologis Trichoderma Spp. Indigenus 91
 
 
Gambar 2.  Trichoderma koningii (a) koloni pada media PDA, (b) konidiofor, (c) fialid, dan (d) konidia
(Sumber: Data primer)
 Gambar 2 menunjukkan bahwa isolat
tersebut memiliki bentuk konidiofor tegak,
bercabang tersusun vertikal. Fialid lancip ke
arah puncak dan konidia berdinding halus dan
kasar berwarna hijau berbentuk oval. Koloni
pada media PDA mencapai lebih dari 5 cm
dalam waktu 5 hari dan koloninya berwarna
hijau serta berbentuk bulat. Karakter tersebut
sesuai dengan karakteristik Trichoderma
koningii (Watanabe, 2002; Domsch et al.,
1980).
 
Gambar 3. Trichoderma harzianum; (a) koloni pada media PDA, (b) konidiofor, (c) fialid, dan (d) konidia
(Sumber: Data primer)
 Gambar 3 menunjukkan bahwa isolat
tersebut memiliki bentuk konidiofor tegak,
bercabang yang tersusun vertikal. Fialid
pendek dan tebal. Konidia hijau dan berbentuk
oval. Koloni pada media PDA berwarna hijau
tua dan berbentuk bulat. Diameter koloni
mencapai lebih dari 9 cm dalam waktu 5 hari.
Karakter dari isolat tersebut menunjukkan
karakteristik Trichoderma harzianum
(Watanabe, 2002; Domsch et al.,1980).
 
 
Gambar 4.  Trichoderma polysporum: (a) koloni pada media PDA, (b) konidiofor, (c) fialid, dan (d) konidia
(Sumber: Data primer)
b
c
d
a
c
b
d
c
b
d
a
a
92 GUSNAWATY ET AL.  J. AGROTEKNOS
 
 
Gambar 5.  Trichoderma aureoviride; (a) koloni pada media PDA, (b) konidiofor,     (c) fialid, dan (d)
konidia (Sumber: Data primer).
 Gambar 4 menunjukkan bahwa isolat
tersebut memiliki bentuk konidiofor
bercabang dan berakhir steril. Fialid relatif
luas, konidia pendek berdinding halus
berwarna hijau dan berbentuk oval. Koloni
pada media PDA berwarna hijau tua dan
tumbuh relatif lebih lambat, ukurannya
mencapai 7 cm dalam waktu 10 hari. Isolat
tersebut sesuai dengan karakteristik
Trichoderma polysporum (Domsch et al.,1980).
 Gambar 5 menunjukkan bahwa isolat
tersebut memiliki bentuk konidiofor
bercabang. Massa spora (konidium) berada
pada setiap fialid. Fialidnya vertikal, pendek
dan tebal. Konidia hijau dan berbentuk oval.
Koloni pada media PDA berwarna hijau tua,
permukaannya lembut dan berbentuk bulat.
Isolat tersebut sesuai dengan karakteristik
Trichoderma aureoviride (Watanabe, 2002).
 Berdasarkan hasil pengamatan
karakterisasi morfologis dari 11 isolat
Trichoderma spp. indigenos Sulawesi
Tenggara menunjukkan bahwa terdapat lima
spesies Trichoderma dengan karakter yang
berbeda baik secara makroskopis maupun
secara mikroskopis. Hal ini dijelaskan
berdasarkan buku identifikasi dari Watanabe
(2002) dan Domsch et al., (1980) yang
menyatakan bahwa Trichoderma sp.
mempunyai konidiofor bercabang menyerupai
piramida yaitu pada bagian bawah cabang
lateral yang berulang-ulang, sedangkan
semakin ke ujung percabangan menjadi
bertambah pendek. Fialid tampak langsing
dan panjang terutama pada aspek dari cabang,
konidia berbentuk semi bulat hingga oval.
Konidia yang berdinding halus, koloni mulamula

berwarna putih lalu menjadi kehijauan
dan selanjutnya setelah dewasa miselium
memiliki warna hijau kekuningan atau hijau
tua terutama pada bagian yang menunjukkan
banyak terdapat konidia.
 Berdasarkan buku identifikasi Watanabe
(2002) dan Domsch et al., (1980), diketahui
bahwa dari 11 isolat trichoderma indegenus
Sulawesi tenggara terdiri atas lima spesies
yaitu T. hamantum, T. koningii, T. harzianum,
T. polysporum dan T. aureoviride. Secara
makroskopis warna koloni dari semua spesies
tersebut diawali dengan warna putih,
kemudian berkembang menjadi putih agak
kehijauan, hijau muda, hijau dan hijau tua,
namun pada T. hamantum terdapat warna
kekuningan hingga ke-7 HSI, tetapi warna
kekuningan pada T. polysporum hanya terjadi
hingga hari ke-5, sedangkan untuk T. koningii,
T. harzianum dan T. aureoviride
perkembangan warna koloni yang terjadi
hamper sama. Semua spesies tersebut
memiliki bentuk koloni yang sama yaitu bulat.
Hal ini didukung oleh pernyataan Rifai (1996)
bahwa sebagian besar anggota dari genus
Trichoderma membentuk koloni yang
mempunyai warna yang berbeda dan
membentuk koloni dengan zona lingkaran
yang terlihat dalam cahaya.
 Karakteristik morfologis secara
mikroskopis lima spesies Trichoderma yang
diperoleh dapat dibedakan berdasarkan
bentuk konidiofor, fialid dan konidia. Bentuk
konidiofor yang sama yaitu tegak dan
bercabang tersusun secara vertikal terdapat
pada T. hamantum, T. koningii dan T.
harzianum. tetapi pada T. hamantum memiliki
fialid pendek dan tebal serta konidia
berdinding halus dan berbentuk oval,
sedangkan pada T. koningii fialid yang
terbentuk lancip ke arah puncak dan dinding
konidia ada yang kasar, berbeda dengan T.
harzianum yang memiliki fialid pendek dan
c b
d
a
Vol. 4 No.2, 2014  Karakterisasi Morfologis Trichoderma Spp. Indigenus 93
lebih tebal serta konidia berwarna hijau da
berbentuk oval, sedangkan pada T. Polysporum
memiliki bentuk konidiofor bercabang dan
berakhir steril serta fialidnya relatif luas,
berbeda dengan T. aureoviride memiliki
bentuk konidiofor bercang pada setiap fialid
terdapat konidium, dan fialidnya berbentuk
vertikal, pendek dan tebal.  
 
SIMPULAN  
 Berdasarkan hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa semua isolat Trichoderma
spp. indigenos dari beberapa daerah Sulawesi
Tenggara memiliki perbedaan karakteristik
morfologis sehingga jenisnya berbeda.
Terdapat lebih dari satu spesies yang
diperoleh dari 11 isolat Trichoderma spp.
indigenos sulawesi Tenggara. Spesies yang
diperoleh yaitu T. hamantum, T. koningii, T.
harzianum, T. polysporum dan T. aureoviride.  
DAFTAR PUSTAKA
Arwiyanto T. 2003.  Pengendalian hayati penyakit
layu bakteri tembakau. Jurnal Perlindungan
Tanaman Indonesia 3(1): 54-60.
Domsch KH, Gams W and Anderson TH. 1980.
Compendium of Soil Fungi. Volume 1. Academic
Press, London.
Erwanti, Mardius Y, Habazar T dan Bachtiar A.
2003. Studi kemampuan isolat-isolat jamur
Trichoderma spp. yang beredar di Sumatra
Barat untuk mengendalikan jamur patogen
Sclerotium roflsii pada bibit cabai. Prosiding
Kongres Nasional XVI dan Seminar Ilmiah PFI,
22-24 Agustus 2003. Bogor.
Faulika. 2013. Uji potensi trichoderma indigenos
Sulawesi Tenggara sebagai biofungisida
terhadap Phytophthora capsici dan Fusarium
oxysporum secara in-vitro [Skripsi]. Fakultas
Pertanian, Universitas Halu Oleo, Kendari  
Herman. 2013. Uji potensi Trichoderma indigenos
Sulawesi Tenggara sebagai biofungisida
terhadap Colletotrichum sp. dan Sclerotium
rofslii secara in-vitro [Skripsi]. Fakultas
Pertanian. Universitas Halu Oleo. Kendari
Kartika E, Lizawati dan Hamzah. 2012. Isolasi,
Iidentifikasi dan pemurnian Cendawan
Mikoriza Arbuskular  (CMA) dari tanah bekas
tambang batu bara. Program Studi
Agroekoteknologi. Fakultas Pertanian,
Universitas Jambi, ISSN: 2302-6472. Vol. 1:4.
Nisa NK. 2010. Isolasi Trichoderma spp. Asal tanah
dan aktivitas penghambatannya terhadap
pertumbuhan Phytopthora capsici penyebab
penyakit busuk pangkal batang lada. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.  
Prayudi B, Budiman A, Rystham MA dan Rina Y.
2000. Trichoderma harzianum isolat
Kalimantan Selatan agensia pengendali hawar
pelepah daun padi dan layu semai kedelai di
lahan pasang surut. Prosiding Simposium
Penelitian Tanaman Pangan IV. Banjar Baru.
Purwantisari S. 2009. Isolasi dan identifikasi
cendawan indigenous rhizosfer tanaman
kentang dari lahan pertanian kentang organik
di Desa Pakis. Magelang. Jurnal BIOMA. ISSN: 11
(2): 45.
Rifai M, Mujim S dan Aeny TN. 1996. Pengaruh
lama investasi Trichoderma   viride terhadap
intensitas serangan Phytium sp. pada Kedelai.
Jurnal Penelitian Pertama VII (8): 20-25.
Semangun H. 2000. Ilmu penyakit tumbuhan.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sudantha IM, Kesratarta I, Sudana. 2011. Uji
antagonisme beberapa jenis jamur saprofit
terhadap Fusarium oxysporum f. sp. cubense
penyebab penyakit layu pada tanaman pisang
serta potensinya sebagai agens pengurai
serasah. UNRAM, NTB. Jurnal Agroteksos 21
(2): 2-3.
Taufik M. 2008. Efektivitas agens antagonis
Trichoderma sp. pada berbagai media tumbuh
terhadap penyakit layu tanaman tomat.
Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan
Tahunan PEI PFI XIX Komisariat Sulawesi
Selatan. Makassar.
Wahyuno D, Manohara D, dan Mulya K. 2009.
Peranan bahan organik pada pertumbuhan dan
daya antagonisme Trichoderma harzianum dan
pengaruhnya terhadap P. capsici. pada tanaman
lada. Jurnal Fitopatologi Indonesia 7: 76−82.
Watanabe T. 2002. Pictorial atlas of soil and seed
fungi morphologies of cultured fungi and key to
species. CRC Press LLC. U.S.A.  
Widyastuti SM, Sumardi, Irfa dan Harjono, 2006.
Aktivitas penghambatan Trichoderma spp.
terformulasi terhadap jamur patogen tular
tanah secara in-vitro. Jurnal Perlindungan
Tanaman Indonesia 8: 27-39.
Yuniati. 2005. Pengaruh pemberian beberapa
spesies Trichoderma sp. dan pupuk kandang
kambing terhadap penyakit layu Fusarium
oxysporum f. sp Lycopersici pada tanaman tomat
(Lycopersicum esculentum Mill) [Skripsi]
Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas
Pertanian, Universitas Muhammadiyah. Malang.
 

Tidak ada komentar: