BAHAN AJAR
STRUKTUR SOSIAL
:
KEKUASAAN,
WEWENANG DAN KEPEMIMPINAN
Mata kuliah
Struktur dan Proses Sosial
Jurusan
Pendidikan Sejarah
FPIPS UPI
Bandung
Oleh :
Drs. Syarif Moeis
NIP : 131 811
175
JURUSAN
PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS
PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG 2008
Kerangka Konsep
Kekuasaan, Wewenang, dan Kepemimpinan menurut
bentuk/tipe
Kekuasaan, Wewenang, dan Kepemimpinan menurut proses tradisional
Kekuasaan
Wewenang
Kepemimpinan
Formal kharismatik
Rasional
Kekuasaan
Wewenang
Kepemimpinan
Tunggal dan terdistribusi
Orang banyak Orang banyak Kekuasaan, Wewenang, dan Kepemimpinan menurut
Unsur-unsur
Kekuasaan, Wewenang, dan Kepemimpinan menurut
Saluran-saluran militer ekonomi politik
Kekuasaan
Wewenang
Kepemimpinan
Tidak formal
Agama
Ideologi
tradisi
Takut
Kepercayaan
Cinta
Kekuasaan
Wewenang
Kepemimpinan
Tidak formal
Pemujaan 1.
Gambaran umum
Pada masa lampau, pendekatan sosiologi terhadap
kekuasaan biasanya dilakukan
dalam kerangka pembahasan mengenai pengendalian
sosial; pembahasan ini ternyata memuat
keterbatasan-keterbatasan tertentu,. Pengendalian
seringkali ditafsirkan sebagai penggunaan
kekuasaan atau pengaruh untuk mencegah terjadinya
perpecahan, mempertahankan
ketertiban, atau mencapai stabilitas sosial.
Pembahasan pengendalian sosial biasanya terbatas
pada orientasi terhadap masa lampau dan masa kini;
kekuasaan lebih relevan bagi masa
depan, sebagai suatu konsep yang mempunyai kualitas
dinamis.
Selama jangka
waktu yang cukup lama, para ahli sosiologi cenderung menganggap
masyarakat sebagai sistem yang dipertahankan oleh
sifat timbal balik dari interaksi sosial,
atau pola-pola yang bertujuan untuk memelihara keadaan
tersebut. Di dalam hal-hal tersebut
di atas, stabilitas dipergunakan sebagai titik tolak
dan perubahan dijelaskan sebagai rangkaian
penyesuaian atau penyesuaian kembali di dalam mana
tertib sosial tetap dipertahankan. Studi
terhadap kekuasaan membalikannya dengan tekanan pada
asumsi bahwa perubahan
merupakan titik tolak dan bahwa ketertiban merupakan
produk tambahan dari proses untuk
mendapatkan kekuasaan, baik oleh individu., kelompok,
maupun lembaga-lembaga.
Secara
tradisional, maka kekuasaan dan wewenang menjadi ruang lingkup yang
khusus dari ilmu politik; akan tetapi karena kekuasaan
dan wewenang adalah salah satu
dimensi dari masyarakat, maka kekuasaan dan wewenang
dapat pula menjadi obyek
penyelidikan dari sosiologi. Penafsirtan-penafsiran
mengenai peranan kekuasaan dan
wewenang dalam pergaulan hidup semenjak abad ke 19
semakin meluas. Analisa yang
semula dilakukan oleh Karl Marx (1973) ternyata banyak
mendapatkan kritikan, namun
sebagai tindak lanjut dari itu ternyata kemudian
banyak dilakukan penelitian yang lebih
mendalam terhadap proses-proses kemasyarakatan,
termasuk kekuasaan dan wewenang,
Hasil-hasil analisa yang dilakukan oleh Max Weber (1958) , merangsang para ahli-ahli
sosial
untuk terus mengadakan penelitian terhadap unsur-unsur
kekuasaan dan wewenang , yang
selama itu agak diabaikan oleh para ahli ilmu politik.
Sosiologi
memandang kekuasaan dan wewenang ini sebagai suatu gejala yang netral;
kekuasaan dan wewenang bukan suatu gejala yang buruk
maupun baik, kecuali dalam
penerapannya. Dengan meniadakan nilai tersebut,
sosiologi berharap dapat melakukan
analisa dengan sebanyak mungkin menetralisasikan
unsur-unsur yang bersifat subyektif.
Dalam percakapan sehari-hari, masalah kekuasaan dan
wewenang sering dibicarakan orang;
demikian juga dengan media massa, yang setiap hari
memuat berita-berita mengenai unsur
kemasyarakatan itu. Persoalan-persoalan yang ada
perihal kekuasaan dan wewenang ini tidak
bisa dianggap sebagai masalah yang sederhana, atau
mudah untuk dipecahkan; hanya
sayangnya, sosiologi bukan merupakan ilmu yang secara
langsung dapat memecahkan
masalah-masalah tentang kekuasaan dan wewenang,
peranan sosiologi disini sebatas
memberi gambaran tentang fenomena sosial yang terjadi,
bagaimana bisa terjadi, apa
pengaruhnya kemudian, kekuatan-kekuatan apa yang ada
dibelakang fenomena itu,
bagaimana kekuatan-kekuatan itu dapat mempengaruhi
orang banyak, dan sebagainya. Dengan timbulnya masyarakat-masyarakat luas
dan komplek, muncul dua ciri pokok,
yaitu bertambahnya jumlah warga masyarakat dan
terjadinya sistem ekonomi. Kedua ciri
tersebut, saling mendukung satu sama lain.
Bertambahnya jumlah masyarakat menyebabkan
timbulnya kesulitan berkomunikasi, sehingga sukar
mendapatkan serta memelihara
kesepakatan. Perubahan–perubahan tersebut , antara
lain, menyebabkan timbulnya berbagai
pusat kekuasaan atau struktur kekuasaan. Prosesnya
dapat ditelusuri dengan memeriksa tiga
sumber kekuasaan, yaitu militer, ekonomi, dan
agama.
2. Pengertian dasar
Dalam konteks Sosiologi, kekuasaan dan wewenang adalah
gejala kemasyarakatan
yang umum sifatnya, dimana dan pada bentuk masyarakat
bagaimanapun gejala ini selalu
timbul; namun yang lebih perlu digaris bawahi disini,
bahwa Sosiologi selalu memandang
netral dari seperangkat gejala-gejala sosial yang
menjadi obyek perhatiannya, netral dalam
arti tidak menilai suatu gejala itu baik atau buruk,
yang pasti gejala itu ada hidup dalam
masyarakat. Walaupun kekuasaan itu senantiasa ada
dalam setiap masyarakat, namun bukan
berarti bahwa kekuasaan dapat dibagi rata para semua
anggota masyarakat; dengan ketidak
merataan ini justru kemudian timbul makna pokok
dari kekuasaan, yaitu sebagai suatu
kemampuan untuk mempengaruhi fihak lain agar menurut
pada kehendak yang ada pada
pemegang kekuasaan.
Adanya
kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang berkuasa dengan yang
dikuasai; ataudengan kata lain antara fihak yang
memiliki kemampuan untuk melancarkan
pengaruh dan fihak lain yang menerima pengaruh ini,
dengan rela atau karena terpaksa.
Apabila kekuasaan itu diterjemahkan pada diri
seseorang, makabiasanya orang itu dinamakan
pemimpin dan mereka yang menerima pengaruhnya adalah
pengikut-pengikutnya. Bedanya
kekuasaan dengan wewenang (authority atau legalized
power) ialah bahwa wewenang adalah
kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok
orang, yang mempunyai dukungan atau
mendapat pengakuan dari masyarakat; karena memerlukan
pengakuan dari masyarakat itu,
maka dalam masyarakat yang sudah kompleks susunannya
mengenal pembagian kerja yang
terperinci, wewenang itu biasanya terbatas mengenai
hal-hal yang diliputnya, waktunya, dan
cara menggunakan kekuasaan itu.
Pengertian
wewenang timbul pada waktu masyarakat mulai mengatur pembagian
kekuasaan dan menentukan penggunaannya, namun
sepertinya tidak ada satu masyarakatpun
yang berhasil dengan sadar mengatur setiap macam
kekuasaan yang ada di dalam masyarakat
itu menjadi wewenang. Kecuali itu, tidak mungkin
setiap macam kekuasaan yang ada
ditangkap dalam peraturan dan sebenarnya hal ini juga
tidak akan menguntungkan bagi
masyarakat, andaikata hal itu terjadi. Apabila setiap
macam kekuasaan menjelma menjadi
wewenang, maka susunan kekuatan masyarakat akan
menjadi kaku, sehingga tidak dapat
mengikuti perubahan-perubahan yang senantiasa terjadi
dalam masyarakat.
Adanya
wewenang hanya dapat menjadi efektif apabila di dukung dengan kekuasaan
yang nyata; akan tetapi acap kali terjadi bahwa
letaknya wewenang yang diakui oleh masyarakat dan letaknya kekuasaan yang
nyata, tidak di satu tempat atau di satu tangan. Di
dalam masyarakat yang relatuf kecil dengan
susunannya yang sederhana, pada umumnya
kekuasaan yang dipegang oleh seseorang atau sekelompok
orang meliputi bermacam bidang,
sehingga terdapat gejala yang kuat bahwa kekuasaan itu
lambat laun diidentifikasikan dengan
orang yang memegangnya.
Sebaliknya di dalam masyarakat besar dan rumit, dimana
terlihat berbagai sifat dan
tujuan hidup golongan yang berbeda-beda dengan kepentingan
yang tidak selalu sama , maka
kekuasaan biasanya terbagi pada beberapa golongan.
Karena itu terdapat perbedaan dan
pemisahan teoritis dan nayata dari kekuasaan politik,
militer, ekonomi, agama, dan lainnya;
kekuasaan yang terbagi itu tampak dengan jelas di
dalam masyarakat yang menganut dan
melaksanakan demokrasi secara luas. Meskipun ada
penguasa pemerintahan otokratis yang
hendak memusatkan kekuasaan semua bidang dalam satu
tangan secara mutlak, namun di
dalam masyarakat yang kompleks ini usaha yang demikian
sukar untuk diselenggarakan,
yang paling memungkinkan adalah pemusatan secara
sebagian, sedang kekuasaan nyata
lainnya tetap dipegang oleh golongan-golongan
masyarakat yang dalam proses
perkembangan masyarakat secara khusus telah melatih
diri untuk memegang kekuasaan itu.
3. Hakekat Kekuasaan
Dalam setiap hubungan antara manusia maupun antar
kelompok sosial, selalu
tersimpul pengertian-pengertian kekuasaan dan
wewenang; Kekuasaan, dalam istilah umum
disebut sebagai power, diartikan sebagai suatu
kemampuan untuk mempengaruhi fihak lain
menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan
tersebut, kekuasaan itu juga
mencakup baik suatu kemampuan untuk memerintah (agar
yang diperintah itu patuh) dan
Masyarakat adat :
Figur kepala adat, antara kekuasaan dan wewenang.
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang masih
menyelenggarakan keberlakuan
hukum adat, biasanya pada bentuk masyarakat yang masih
sederhana dan jauh dari
peradaban modern, dimana semua kekuasaan,
pemerintahan, ekonomi dan sosial
dipercayakan kepada kepala-kepala
masyarakat-masyarakat hukum adat tadi untuk
seumur hidup (biasanya juga berlaku pola pewarisan
kepemimpinan). Kerana luasnya
kekuasaan dan karena besarnya kepercayaan yang menyeluruh
dari masyarakat
hukum adat kepada kepala-nya tadi, maka pengertian
kekuasaan dan pengertian orang
yang memegangnya lebur menjadi satu. Dalam bentuk
masyarakat seperti ini agaknya
sukar untuk membedakan batas-batas antara kekuasaan
(yang tidak resmi) dengan
wewenang (yang resmi)
juga untuk memberikan keputusan-keputuasan yang secara langsung maupun
tidak langsung
akan mempengaruhi tindakan-tindakan fihak lainnya. Max
Weber mengatakan, bahwa
kekuasaan adalah kesempatan dari seseorang atau sekelompok
orang-orang untuk
menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya
sendiri, dengan sekaligus
menterapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan
dari orang-orang atau golongangolongan tertentu.
Kekuasaan
tersebut mempunyai berbagai bentuk dengan bermacam-macam sumber;
hak milik kebendaan, kedudukan, birokrasi, disamping
misalnya suatu kemampuan khsusus
dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan yang tertentu
ataupun atas dasar peraturan-peraturan
hukum yang
tertentu, merupakan sumber-sumber kekuasaan. Jadi kekuasaan terdapat
dimana-mana, dalam hubungan –hubungan sosial maupun
oraganisasi-organisasi sosial, akan
tetapi umumnya kekuasaan tertinggi ada pada organisasi
yang disebut dengan “negara”,
secara resmi negara itu mempunyai hak untuk
melaksanakan kekuasaan tertinggi, kalau perlu
dengan paksaan; juga negaralah yang membagi-bagikan
kekuasaan-kekuasaan yang lebih
rendah derajatnya., bentuk inilah yang disebut sebagai
kedaulatan (sovereignity). Kedaulatan
biasanya hanya dijalankan oleh segolongan kecil dari
masyarakat yang menamakan dirinya
sebagai the
rulling class, gejala mana merupakan gejala yang umum ada pada masyarakat .
Dalam
kenyataannya, diantara orang-orang yang merupakan warga-warga the rulling
class, pasti ada yang menjadi pemimpinnya, meskipun
menurut hukum, dia bukan merupakan
pemegang kekuasaan yang tertinggi; gejala lain yang
tampak yaitu bahwa perasaan tidak puas
yang kadang-kadang timbul dari rakyat banyak (yaitu
mereka yang diperintah) mempunyai
pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan yang dijalankan
oleh the rulling class; namun
keberadaan golongan ini tidak akan mungkin bisa
bertahan bila tidak ada dukungan dari
masyarakat. Atas dasar pemikiran ini maka the rulling
class akan senantiasa berusaha untuk
selalu membenarkan kekuasaannya terhadap masyarakat,
dengan maksud agar kekuasaannya
dapat diterima oleh masyarakat sebagai kekuasaan yang
legal dan baik untuk masyarakat
tersebut.
Kebanyakan
ahli politik di dalam mengadakan analisa sampai pada kesimpulan untuk
membedakan antara kekuasaan yang sah, dengan yang
tidak sah, atas dasar sebab-sebab
tertentu. Selama ada peperangan, misalnya, orang
banyak membicarakan tentang „kekuatan
belaka‟, sesudah mana fihak yang menang berusaha untuk
mendapatkan „wewenang‟, orang
berbicara tentang „wewenang‟ bila ada perilaku
kekuasaan yang sah. Suatu kekuasaan adalah
sah dan diakui apabila memiliki atribut-atribut
tertentu, seperti misalnya „keadilan‟,
„moralitas‟, „agama‟, dan nilai-nilai budaya lainnya
yang merumuskan „tujuan-tujuan‟
tertentu maupun „tanggung jawab‟ dari mereka yang
memegang kekuasaan. Oleh karena
kekuasaan dianggap merupakan suatu sarana, maka timbul
pertanyaan : kekuasaan siapa dan
untuk tujuan-tujuan apa ?, pemegang kekuasaan
tertinggi senantiasa mencari jawaban, namun
sebenarnya untuk mencari selubung, sehingga tampaknya
tujuan kekuasaan bukanlah sematamata kekuasaan, tetapi hal-hal lainnya.
Keadaan di
atas terjadi pada usaha-usaha golongan yang memegang kekuasaan di
dalam masyarakat yang baru bebas dari penjajahan dan
mendapatkan kemerdekaan politik,
mengalami kesulitan-kesulitan. Sebab pokok dari
kesulitan itu adalah pada perbedaan alam fikiran antara golongan yang berkuasa
(secara relatif labih maju) dan alam fikiran golongan
yang dikuasai yang masih tradisional dan kurang luas
pengetahuannya; untuk itu, golongan
yang berkuasa harus berusaha untuk menanamkan
kekuasaannya dengan jalan
menghubungaknnya dengan kepercayaan-kepercayaan dan
perasaan-perasaan yang kuat di
dalam masyarakat yang bersangkutan.
Kelas, Golongan, Kelompok yang Berkuasa
Seorang pemerhati
sosiologi (politik), Gaetano
Mosca (1939), mengatakan
bahwa dilihat dari segi kekuasaan setiap masyarakat
senantiasa menggambarkan ada
dua kelas atau golongan, yaini kelas atau golongan
yang berkuasa dan yang dikuasai;
hal ini merupakan suatu fakta konstan yang dapat
ditemukan pada semua organisme
politik. Kelas pertama yang biasanya terdiri dari
orang-orang yang sedikit jumlahnya,
menerapkan semua fungsi-fungsi politik, memonopoli
kekuasaan dan menikmati
segala keuntungan dari kedudukkan sbagai pemegang
kekuasaan. Kelas yang kedua
yang terdiri dari lebih banyak orang, diarahkan serta
dikendalikan oleh kelas pertama,
dengan cara-cara yang kurang lebih legal,
sewenang-wenang atau dengan kekerasan.
Kelas kedua tersebut menyediakan sarna untuk dapat
hidup dan bertahan, serata halhal lainnya yang sangat penting bagi organisme
politik. Di dalam kehidupan seharihari, adanya kelas atau golongan yang
berkuasa tadi dengan mudah tampak. Warga
masyarakat di manapun juga akan tahu, bahwa suatu
minoritas yang terdiri dari orangorang yang berpengaruh, mengelola
masalah-masalah publik.
Dalam setiap
organisme politik ada pribadi yang menjadi kepala dari para
pemimpin dari kelas yang berkuasa sebagai satu kesatuan, yang berada di puncak
negara yang bersangkutaan. Pribadi tadi belum tentu
atau tidak selalu adalah orang
yang memegang kekuasaan tertinggi menurut hukum;
kadang-kadang disamping
seorang raja atau maharaja ada seorang perdana menteri
yang memang kekuasaannya
lebih besar. Kenyataan yang kedua adalah, bagaimanapun
tipe organisasi politik,
tekanan yang ada yang bersal dari massa yang tidak
puas, mempunyai pengaruh
terhadap kelas atau golongan yang berkuasa.
Akan tetapi,
seseorang yang menjadi kepala negara, tidak akan mungkin
memerintah tanpa adanya dukungan dari pelbagai
golongan, yang menegakkan
kehormatannya serta menegakka perintah-perintahnya.
Walaupun dia berhasil
menguasai satu atau beberapa orang anggota golongan
tersebut, tidak mungkin dia
berselisih dengan golongan tersebutatau meniadakannya
sama sekali. Kalaupun hal itu
terjadi, maka dia harus membentuk kelas atau golongan
lain, oleh karena tanpa
adanya dukungan, dia akan lumpuh. Di lain fihak, kalau
suatu massa berhasil
menggulingkan golongan yang berkuasa, maka akan timbul
minoritas
terorganisasikan dalam massa itu sendiri; apabila hal
itu tidak terjadi, maka seluruh
struktur sosial akan hancur.
4. Kekuasaan
dan kepatuhan
Kekuasaan merupakan suatu kemampuan dari fihak-fihak
tertentu untuk
mempengaruhi fihak-fihak lainnya, walaupun ada
kemungkinan fihak-fihak tersebut tidak
menghendakinya. Kalau semua orang sederajat
kedudukannya, maka tidak ada politik, sebab
politik berkaitan dengan bawahan dan atasan,. Esensi
dari politik adalah justru menyangkut
distribusi kekuasaan dalam perilaku institusional.
Sepanjang hal itu menyangkut “negara”
maka tertib politik merupakan “wewenang fisual” dimana
di dalamnya telah melembaga
penggunaan sanksi-sanksi secara fisual yang menyangkut
penggunaan kekuatan fisik dalam
wilayah kekuasaan tertentu. Hal itu merupakan ciri yang
membedakan lembaga politik,
seperti negara, dengan lembaga atau tertib
lainnya.
Oleh karena
kekuasaan menyangkut seorang pelaku yang melaksanakan
kehendaknya, maka kekuasaan berkaitan dengan
kepatuhan. Oleh karena itu, maka masalah
umum dalam politik adalah penjelasan mengenai berbagai
distribusi kekuasaan dan
kepatuhan. Salah satu masalah dasar dalam psikologi
politik adalah, mengapa orang patuh
dan menerima kenyataan bahwa fihak lain berkuasa.
Suatu jawaban langsung yang mungkin
kurang proporsional adalah suatu tanggapan yang
menganggap sebagai kumpulan manusia,
yang dipimpin orang kuat yang berdiri di muka.
Penjelasan tersebut mungkin hanya tepat
bagi masyarakat yang sederhana, dimana seseorang yang
kuat mempunyai kesempatan besar
untuk menjadi pemimpin. Keadaan semacam itu mungkin
juga dapat dijumpai pada
kumpulan-kumpulan pemuda yang disebut “gank”, yang
lebih banyak menekankan pada
unsur kekuatan fisik.
Di dalam
kerangka dasar-dasar kepatuhan yang secara umum diakui –
seperti,
misalnya, legitimasi atau simbol-simbol pembenaran –
masalah pokok dari politik mencakup
pemahaman tentang “wewenang”. Hal itu disebabkan, oleh
karena wewenang menjadi ciri
daripada tertib politik yang bertahan lama.
Sebenarnya,
maka kekuasaan adalah semata-mata suatu kemungkinan bahwa orangorang akan
berperilaku sesuatu dengan keinginan orang lain; perilaku tersebut mungkin
didasarkan pada rasa takut, menghitung-hitung
„keuntungannya‟, tidak ada kekuatan untuk
berbuat lain, kesetiaan, masa bodoh, atau motif-motif
individual lainnya. Wewenang atau
kekuasaan yang disahkan, menyangkut kepatuhan suka
rela yang didasarkan pada gagasan
yang dimiliki fihak yang patuh, tentang pemegang
kekuasaan ataupun posisinya. Seorang
filsuf, Rousseu, mengatakan bahwa fihak yang terkuat
tidak akan pernah cukup kuat untuk
selalu menjadi penguasa, kecuali apabila ia
mentransformasikan kekuatannya menjadi hak
(wewenang), dan kepatuhan menjadi kewajiban.
5. Unsur-Unsur dan Saluran-saluran Kekuasaan
Soerjono Soekanto
(1983) mengambarkan beberapa unsur kekuasaan yang dapat
dijumpai pada hubungan sosial antara manusia maupun
antar kelompok, yaitu yang meliputi :
1. Rasa Takut
Perasaan takut pada seseorang pada orang lain menimbulkan
suatu kepatuhan terhadap
segala kemauan dan tidakan pada orang yang ditakuti
tadi; rasa takut ini bernuansa
negatif, karena orang tersebut tunduk pada orang lain
dalam keadaan yang terpaksa.
Untuk menghindari dari hal-hal yang dapat merugikan
dirinya, seseorang atau
sekelompok orang akan patuh atau berbuat apa saja
sesuai dengan keinginan fihak yang
ditakutinya. Disamping kepatuhan, adakalanya secara
disadari atau tidak orang atau
sekelompok orang itu meniru tindakan orang-orang yang
ditakuti (disebut sebagai
matched dependend behavior) . Rasa takut merupakan
gejala umum yang terdapat
dimana-mana,
dan bila dilekatkan pada suatu pola pemerintahan negara rasatakut ini
biasanya dipergunakan sebaik-baiknya dalam masyarakat
dengan pemerintahan otoriter.
2. Rasa Cinta
Unsur kekuasaan dengan perasaan cinta menghasilkan
perbuatan-perbuatan yang
bernuansa positif, orang-orang dapat bertindak sesuai
dengan keinginan yang berkuasa,
masing-masing fihak tidak merasakan dirugikan satu
sama lain. Reaksi kedua belah fihak,
yaitu antara
kekuasaan dan yang dikuasai, bersifat positif, dari keadaan ini maka suatu
sistem kekuasaan dapat berjalan dengan baik dan
teratur.
3. Kepercayaan
Suatu kepercayaan dapat timbul sebagai hasil hubungan
langsung dari dua orang atau
lebih, satu fihak secara penuh percaya pada fihak
lainnya, dalam hal ini pemegang
kekuasaan, terhadap segenap tindakan sesuai dengan
peranan yang dilakukannya; dengan
kepercayaannya ini maka orang-orang akan bertindak
sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh penguasa. Unsur kepercayaan ini
penting ditumbuhkan untuk
melanggengkan suatu bentuk kekuasaan.
4. Pemujaan
Suatu perasaan cinta atau sistem kepercayaan mungkin pada
suatu saat dapat disangkal
oleh orang lain; akan tetapi dalam sistem pemujaan,
maka seseorang, sekelompok orang,
bahkan hampir seluruh warga masyarakat akan selalu menyatakan pembenaran atas
segala tindakan dari penguasanya, ke dalam maupun ke
luar masyarakat.
Kekuasaan itu dilaksanakan dengan melalui
saluran-saluran atau media tertentu, yaitu
yang meliputi saluran : a. Militer
Untuk melaksanakan kekuasaannya, maka fihak penguasa
akan lebih banyak
mempergunakan pola paksaan (coercion) serta kekuatan
militer (military force), tujuan
utamanya adalah untuk menimbulkan rasa takut dalam
diri masyarakat, sehingga mereka
tunduk kepada keinginan penguasa atau sekelompok orang
yang dianggap sebagai
penguasa; untuk kepentingan itu, maka seringkali di
bentuk oraganisasi dan pasukanpasukan khususyang bertindak sebagai dinas
rahasia.
b. Ekonomi
Penguasa berusaha menguasai kehidupan masyarakat
dengan melakukan pendekatanpendekatan dengan menggunakan saluran-saluran
ekonomi; dengan pola penguasaan ini
maka penguasadapatmelaksanakan peraturan-peraturannya
serta akan menyalurkan
pemerintahannya dengan disertai sanksi-sanksi
tertentu. Bentuknya bisa berupa monopoli,
penguasaan sektor-sektor penting dalam masyarakat,
atau penguasaan kaum buruh.
c. Politik
Melalui saluran politik, penguasa dan pemerintah berusaha untuk membuat
peraturanperaturan yang harus ditaati oleh masyrakat, caranya antara lain
dengan meyakinkan atau
memaksa masyarakat untuk mentaati peraturan-peraturan
yangdibuat oleh badan-badan
yang berwenang dan sah.
d. Tradisi
Saluran tradisi ini biasanya merupakan saluran yang
paling disukai, karena ada
keselarasan antara nilai-nilai yang diberlakukan
dengan kebiasaan-kebiasaan atau tradisi
dalam suatu masyarakat, sehingga pelaksanaan kekuasaan
dapat berjalan dengan lancar.
e. Ideologi
Penguasa-penguasa dalam masyarakat biasanya
mengemukakan serangkaian ajaranajaran atau doktrin-doktrin, yang bertujuan
untuk menerangkan dan sekaligus memberi
dasar pembenaran bagi pelaksanaan kekuasaannya; hal
itu dilakukan agar supaya
kekuasaannya dapat menjelma menjadi wewenang. Setiap
penguasa akan berusaha untuk
dapat menerangkan ideologinya tersebut dengan
sebaik-baiknya sehingga melembaga
(institutionalized) bahkan mendarah daging (internalized)
dalam diri warga-warga
masyarakat.
f. Saluran-saluran lain
Untuk
lebih menyalurkan pengaruhnya, penguasa
biasanya tidak hanya terbatas
menggunakan saluran-saluran seperti di atas, tetapi
menggunakan berbagai saluran lain,
yaitu yang berupa komunikasi massa baik berupa iklan,
pamflet, surat kabar, radio,
televisi, pagelaran musik, atau apa saja yang dapat
menarik simpati massa. Kemajuan
yang sangat pesat di bidang teknologi alat-alat
komunikasi massa, menyebabkan bahwa saluran tersbut pada akhir-akhir ini
dianggap sebagai media primer sebagai saluran
pelaksanaan kekuasaan.
6.
Bentuk-bentuk Kekuasaan
Bentuk dan sistem kekuasaan pada dasarnya selalu
menyesuaikan diri pada
masyarakat dengan adat istiadat dan pola-pola
perikelakuannya; kekuasaan itu dianggap perlu
ada dalam masyarakat didasarkan pada kekhawatiran terjadinya disintegrasi dalam
masyarakat, bentuk integrasi mana yang dipertahankan
oleh tata tertib sosial yang dianggap
hanya bisa dijalankan oleh penguasa. Semakin banyaknya
jumlah manusia, sehingga orang
mulai sadar bahwa keteraturan atau ketertiban masyarakat tidak bisa menggunakan
pola
penguasaan di bawah satu tangan, akan tetapi harus ada
pembagian kekuasaan, seperti yang
dikemukakan oleh seorang ahli sosiologi, Robert M. Mc
Iver (1954), bahwa kekuasaan itu
ada dalam bentuk lapisan-lapisan atau piramida.
Kekuasaan bukanlah semata-mata berarti
bahwa banyak orang tunduk di bawah seorang penguasa,
kekuasaan selalu berarti suatu
sistem berlapis-lapis yang bertingkat (hierarkis). Mc.
Iver menggambarkan kekuasaan itu
dalam tiga pola umum dari sistem lapisan-lapisan atau
piramida kekuasaan, yaitu :
Type Kasta
Adalah suatu sistem lapisan kekuasaan dengan
garis-garis pemisah yang tegas dan kaku, tipe
semacam ini biasanya ditemukan pad bentuk-bentuk
masyarakat yang berkasta, dimana
hampir tidak terjadi gerak sosial vertikal;
garis-garis pemisah antara masing-masing lapisan
relatif tidak mungkin di tembus.
Raja (penguasa)
Bangsawan
Pegawai pemerintah
petani
buruh tani
para budak
Pada puncak
piramida, duduk penguasa tertinggi dengan orang-orang disekitarnya, yang
didukung oleh bangsawan, tentara dan para pendeta;
lapisan berikutnya terdiri dari pegawai
yang bekerja di pemerintahan; lapisan yang paling
banyak anggotanya adalah lapisan para
petani, buruh tani yang kemudian didikuti dengan
lapisan terendah yang terdiri dari para
budak.
Tipe Oligarkhis
Hampir seperti tipe kasta, yaitu dengan garis-garis
pemisah yang tegas, akan tetapi
disini dasar pembedaan kelas-kelas sosial lebih
ditentukan oleh kebudayaan masyarakat;
walaupun masih memuat unsur pewarisan kedudukan
menurut kelahiran (ascribe status)
namun anggota masyarakat diberikan peluang untuk
memperoleh kekuasaan-kekuasaan
tertentu, sistem yang berlaku pada masyarakat ini
lebih memberikan peluang mobilitas
vertikal pada warganya.
Raja
(penguasa)
Bangsawan
Pegawai negeri, tentara,
pengusaha
Orang kaya, pengacara
Pedagang, tukang, petani
Buruh tani dan budak
Kelas menengah mempunyai warga yang paling banyak;
industri, perdagangan dan keuangan
memegang peranan yang lebih penting. Ada beberapa
macam cara di mana warga-warga dari
lapisan bawah untuk naik ke lapisan atasnya, dan juga
ada kesempatan bagi warga-warga
lapisan menengah untuk menjadi penguasa. Tipe semacam
di atas dijumpai pada masyarakatmasyarakat yagn bersifat feodal yagtelah
berkembang; satu variasi dari tipe ke dua ini
dijumpaipada negara-negara yang didasarkan pada aliran
fasisme dan sebagian negara-negara
totaliter; bedanya adalah bahawa kekuasaan yang
sebenarnya, beradadi tangan partai politik
yang mempunyai kekuasaan yang menentukan.
Tipe Demokratis
Menunjuk pada kenyataan akan adanya garis-garis
pemisah antara lapisan-lapisan
yang sifatnya mobil sekali; kelahiran tidak menentukan
seseorang harus dan bisa bagaimana,
yangerpenting adalah kemampuannya dan kadang-kadang
pula faktor keberuntungan, untuk
banyak kasus terbukti berasal dari berbagai partai
politik, yang dalam suatu masyarakat
demokratis banyak mencapai kedudukannya dengan media
partai politik ini.
Pemimpin politik, organisasi, partai
Orang
kaya, petinggi militer
Pejabat, pengusaha, perwira
Menengah
Pegawai negeri,
tentara, pedagang
Orang kaya, pengacara
Tenaga buruh, petani,
Buruh tani dan budak
Gambaran dari pola kekuasaan tersebut di atas
merupakan tipe ideal yang dalam kenyataan
dan perwujudannya tidak jarang mengalami
penyimpangan-penyimpangan, hal mana
terutama disebabkan oleh karena setiap masyarakat
mengalami perubahan-perubahan sosial
dan kebudayaan. Setipa perubahan sosial dan kebudayaan
memerlukan suatu perubahan pula
dalam pola piramida kekuasaan, yaitu untuk dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan
masyarakat sesuai dengan perkembangan yang
dialaminya.
7. Cara-Cara Mempertahankan Kekuasaan
Sepertinya sudah menjadi kesepakatan orang banyak,
bahwa untuk menyelenggarakan
suatu bentuk
kehidupan dari orang-orang atau kelompok-kelompok orang dalam suatu
persekutuan, memerlukan pengaturan dalam bentuk
norma-norma atau hukum yang
pelaksanaannya dipegang oleh seseorang atau
orang-orang tertentu dalam masyarakat
tersebut; penyelenggaaan ini bisa atas dasar rasa
cinta, takut, pemujaan atau kepercayaan.
Orang atau kelompok orang yang memegang kekuasaan
sadar bahwa selain kewajibankewajiban yang menjadi tanggung jawabnya, dia atau
mereka juga diberikan semacam
fasilitas dan
hak-hak tertentu yang lebih
dari orang-orang kebanyakan, dan
penguasa juga
sadar bahwa kekuasaannya itu pada suatu waktu mungkin
akan akan hilang karena berbagai
sebab; atas dasar kesadarannya inilah yang biasanya
menjadi pemikiran dasar bahwa sedapat
mungkin dia atau mereka mempertahankan kekuasaanya,
untuk tujuan itu ditempuh beberapa
cara agar kekuasaan itu dipertahankan, yaitu melalui :
1.
Menghilangkan segenap peraturan-peraturan lama, terutama dalam bidang
politik,
yang dianggap merugikan kedudukan penguasa.;
peraturan-peraturan tersebut
akandigantikannya dengan peraturan-peraturan baru yang
akan menguntungkan
penguasa; keadaan tersebut biasnya terjadi pada waktu
akan ada pergantian kekuasaan
dari seorang penguasa kepada penguasa yang lain,
2. Mengadakan
sistem-sistem kepercayaan yang akan dapat memperkokoh kedudukan
penguasa ataugolongannya, sistem-sistem itu meliputi
ideologi, agama dan lainnya,
3.
Menyelenggarakan administrasi dan birokrasi yang baik, yang dianggap
lebih
memudahkan kehidupan orang banyak.
4. Senantiasa mengadakan konsolidasi secara horisontal
dan vertikal
Secara khusus cara-cara penguasa dalam memperkuat kedudukannya yaitu :
5. dengan
menguasai bidang-bidang kehidupan tertentu, misalnya menguasai bidang
ekonomi dengan cara memperluas pasaran-pasaran
perdagangan, menambah tenaga
kerja, menaikan produksi, mengadakan perlindungan
terhadap barang-barang
produksi dan sebagainya; hal ini biasanyadilakukan
dengan cara damai,
6. menguasai
bidang-bidang kehidupan pokok dalam masyarakat dengan cara kekerasan
atau paksaan. Maksudnya adalah untuk menghancurkan
atau menguasai pusat-pusat
kekuasaan di bidang-bidang kehidupan. Biasanya
cara-cara ini tidak dapat bertahan
lama, karena pada suatu saat pasti timbul reaksi yang
akan menghancurkan kekuasaan
yang ada, selain bahwa kekuasaan dengan tipe demikian tidak akan bertahan lama,
karena penguasa juga mempunyai batas-batas kemampuan
akan kekuatannya.
Para penguasa
biasanya mempunyai keahlian di bidang-bidang tertentu, seperti di
bidang politik, ekonomi, militer dan sebagainya; kekuasaan yang dipegang seorang ahli
politik misalnya, adalah terutama mencakup di bidang
politik saja. Keadaan semacam
demikian, yaitu apabila penguasa hanya menguasai
bidang-bidang tertentu, menyebabkan
bahwa dia lebih mudah untuk digulingkan. Oleh sebab
itu seorang penguasa seharusnya dapat
pula menguasai bidang-bidang lain, selain dari
kemampuannya dalam bidang tertentu.
Apabila dia merasa tidak sanggup untuk menguasai
bidang-bidang kehidupan masyarakat,
maka seyogyanya dia mendekati fihak-fihak lain yang
ahli dan mengajak mereka untuk
membentuk the rulling class tersendiri.
Melihat
hal-hal tersebut di atas, maka suatu kecenderungan bahwa kekuasaan itu
bersifat kumulatif, artinya bertumpuk atau berkumpul
dalam suatu tangan penguasa atau
sekelompok orang-orang, merupakan hal yangwajar dalam
berbagai masyarakat. Dan apabila
dalam salah satu bidang kehidupan terdapat orang kuat
yang berkuasa, maka timbul suatu
pusat kekuasaan; untuk mengimbangi keadaan ini,
masyarakat kemudian membentuk suatu
pusat-pusat kekuasaan lainnya, yang disebut
sebagai oposisi, perkara sehat atau
tidaknya
oposisi ini, merupakan soal lain. Konkurensi terhadap
kekuasaan yang pada suatu saat
memegang tampuk pemerintahan, akan selalu ada. Apakah
konkurensi itu diberlakukan
secara bebas atau terbatas,semuanya tergantung dari
struktur masyarakat.
8. Hakekat Wewenang
Sebagaimana halnya dengan kekuasaan, maka wewenang
juga dapat dijumpai di
mana-mana, walaupun tidak selamanya kekuasaan dan
wewenang di satu tangan. Dengan
wewenang, atau dalam istilah umum disebut sebagai authority
atau legalized power,
dimaksudkan suatu hak yang telah ditetapkan dalam tata
tertib sosial untuk menetapkan kebijakan, menentukan keputusan-keputusan
mengenai masalah-masalah penting dan untuk
menyelesaikan pertentangan-pertentangan; dengan
perkataan lain, seseorang yang memiliki
wewenang bertindak sebagai orang yang memimpin atau
membimbing orang banyak; apabila
orang membicarakan tentang wewenang maka yang dimaksud
adalah hak yang dimiliki oleh
seseorang atau sekelompok orang. Dipandang dari sudut
masyarakat, maka kekuasaan tanpa
wewenang, merupakan kekuasaan yang tidak sah.
Kekuasaan harus mendapat pengakuan dan
pengesahan dari masyarakat agar menjadi wewenang.
Wewenang hanya
mengalami perubahan dalam bentuk, sehingga dalam kenyataannya
wewenang tadi tetap ada. Perkembangan suatu wewenang
terletak pada arah serta tujuannya
untuk sebanyak mungkin memenuhi bentuk yang
diidam-idamkan masyarakat. Pada dasarnya
terdapat beberapa bentuk wewenang yaitu berdasarkan
pada :
8.1. Hubungan
dengan dasar hukum yang berlaku
a. Wewenang
kharismatis.
yaitu
merupakan wewenang yang didasarkan pada kharisma yang merupakan suatu
kemampuan khusus yang melekat pada diri seseorang,
kemampuan mana yang diyakini
sebagai pembawaan seseorang sejak lahir. Orang-orang
lain mengakui akan adanya
kemampuan tersebut atas dasar kepercayaan dan
pemujaan, oleh karena mereka menganggap
bahwa sumber kemampuan tersebut berada diatas
kekuasaan dan kemampuan manusia
umumnya. Sumber dari kepercayaan dan pemujaan itu
adalah karena seseorang memiliki
kemampuan khusus, dan keberadaannya akan tetap
ada selama masyarakat banyak
merasakan manfaat dan gunanya.
Wewenang
kharismatis dapat berwujud suatu kewenangan untuk diri orang itu
sendiri, dan dapat dilaksanakan terhadap segolongan
orang atau bahkan terhadap golongangolongan dalam masyarakat. Dasar dari
wewenang ini bukan terletak pada suatu peraturan
atau hukum, melainkan bersumber pada diri pribadi
individu yang bersangkutan, kharisma itu
mungkin saja meningkat sesuai dengan kesanggupan
individu untuk membuktikan
kemanfaatnya pada masyarakat.; sebaliknya, wewenang
inidapat berkurang apabila ternyata
individu yang memilikinya berbuat kesalahan-kesalahan
yang dapat merugikan masyarakat
banyak, sehingga unsur kepercayaannya menjadi
berkurang.
Wewenang
kharismatis ini tidak diatur oleh kaidah-kaidah yang tradisional maupun
rasional; sifatnya adalah irrasional. Tidak jarang
terjadi bahwa kharisma yang dimiliki
seorang itu dapat hilang, seiring dengan dinamika dan
perkembangan masyarakat yang
memungkinkan terjadi perubahan-perubahan dalam
masyarakat sehingga ada perbedaanperbedaan faham dari berbagai nilai yang
tadinya disepakati bersama; perubahan
mana yang
tidak sesuai lagi dengan kharisma individu yang
bersangkutan, sehingga ia tertinggal oleh
kemajuan dan perkembangan masyarakat
b. Wewenang
Tradisional
Wewenang bentuk ini bisa dimiliki oleh seorang atau
beberapa orang dalam suatu
kelompok atau masyarakat, namun sumbernya bukan dari
kemampuan-kemampuan khusus
seperti yang ada pada wewenang khrismatis, akan tetapi
oleh karena seorang atau beberapa
orang itu memiliki kekuasaan dan wewenang yang telah
melembaga dan bahkan menjiwai
masyarakat; dimana orang atau beberapa orang itu sudah
lama sekali mempunyai kekuasaan
di dalam masyarakat, sehingga orang banyak menjadi
percaya dan mengakui kekuasaan itu.
Beberapa ciridari wewenang tradisional antara lain :
a. Adanya
ketentuan-ketentuan tradisional yang mengikat penguasa yang
mempunyai wewenang , serta orang-orang lainnya dalam
masyarakat
b. Adanya
wewenang yang lebih tinggi daripada kedudukan seseorang diri hadir
secara pribadi
c. Selama tidak
ada pertentangan dengan ketentuan-ketentuan tradisional, orangorang dapat
bertindak secar bebas.
Pada masyarakat dimana penguasa mempunyai wewenang
tradisional, tidak ada
pembatasan yang tegas antara wewenang dengan
kemampuan-kemampuan pribadi
seseorang, yang terlepas dari wewenang tersebut; dalam
hal ini sering kali hubungan
kekeluargaan memegang peranan penting dalam
pelaksanaan wewenang. Kepercayaan
serta kehormatan yang diberikan kepada mereka yang mempunyai
wewenang tradisional
biasanya mempunyai fungsi yang memberikan ketenangan
pada masyarakat dalam arti
bahwa karenanya, maka masyarakat selalu mengikatkan
dirinya pada tradisi. Wewenang
tradisional dapat juga berkurang atau bahkan hilang,
antara lain karena pemegang
wewenang tadi tidak dapat mengikuti perkembangan
masyarakat. Memang, masyarakat
yang menyandarkan dirinya pada tradisi biasanya lambat
sekali perkembangannya,
walaupun terjadi sedikit-sedikit perubahan. Dengan
demikian, maka wewenang yang
menyandarkan diri pada tradisi, harus juga
menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan kemasyarakatan.
c. Wewenang Rasionil
Wewenang rasionil yang juga disebut sebagai wewenang
legal yaitu wewenang
yang disandarkan pada sistem hukum yang berlaku dalam
masyarakat, sistem hukum
mana difahamkan sebagai kaidah-kaidah yang telah
diakui serta ditaati oleh masyarakat,
dan bahkan yang telah diperkuat oleh negara. Pada
wewenang yang didasarkan pada
sistem hukum ini harus dilihat juga apakah sistem
hukumnya bersandar pada tradisi,
agama, atau faktor lain, kemudian harus ditelaah pula
hubungannya dengan sistem
kekuasaan serta diuji pula apakah sistem hukum tadi
cocok atau tidak dengan sistem
kebudayaan masyarakat, agar supaya kehidupan dapat
berjalan dengan tenang dan
tenteram.
Didalam masyarakat yang relatif demokratis, maka sesuai dengan sistem
hukumnya, orang-orang yang memegang kekuasaan diberi
kedudukan menurut jangka
waktu tertentu dan terbatas. Gunanya adalah agar
supaya orang-orang yang memegang
kekuasaan tadi akan dapat menyelenggarakannya sesuai
dengan kepentingan masyarakat.
Kemungkinannya adalah kecil sekali bahwa orang-orang
tertentu secara terus menerus
memegang kekuasaan dalam jangka waktu yang lama sekali
seperti halnya yang berlaku
pada masyarakat yang relatif tradisionil. Hal itu
kemungkinan sekali akan menghambat
keinginan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat.
Apabila ketiga
bentuk wewewang tersebut diterapkan dalam masyarakat, maka
biasanya ketiga-tiganya akan dapat dijumpai, walaupun
mungkin hanya salah satu bentuk
saja yang tampak menonjol; dengan semakin populernya
sistem demokrasi pada jaman
sekarang ini, maka wewenang tradisionil yang
diwujudkan dengan pola kekuasaan yang
turun temurun dari orang tua kepada anak, kelihatannya
semakin berkurang.; di dalam
suatu masyarakat yang mengalami perubahan-perubahan
secara cepat, mendalam dan
meluas, wewenang kharismatis mendapat kesempatan
tampil ke muka; dalam keadaan
yang demikian tradisi kurang mendapat penghargaan yang tinggi dari masyarakat.
Lagipula, kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial tidak
lagi dapat dipergunakan sebagai
pedoman yang tegas bagi para warga masyarakat . Oleh
karena itu golongan-golongan di
dalam masyarakat, dengan rela hati mengikuti orang
yang mempunyai kecakapan pribadi
untuk memancarkan pengaruh sesuai dengan kebutuhan
masyarakat pada waktu itu.
Tugas :
1. Kemukakan
beberapa bentuk wewenang kharismatis, tradisionil, dan rasionil
dalam kehidupan masyarakat Indonesia, untuk kurun
waktu :
Sebelum adanya pengaruh asing : India, Cina, Persi,
dan Eropa
Setelah masuknya pengaruh asing sebelum Eropa
Setelah masuknya pengaruh Eropa
Pada jaman kemerdekaan dan sesudahnya ( era orde lama)
Pada era orde baru
Pada era reformasi
2. Gambarkan
keberadaan masing-masing wewenang dengan perubahan-perubahan
yang terjadi dalam masyarakat 8.2. . Kepentingan
Pengaturan :
a. Wewenang Tidak Resmi
Di dalam
setiap masyarakat akan dapat dijumpai aneka macam bentuk kelompok,
mulai dari yang jumlah anggota-anggotanya sedikit
dan saling kenal-mengenal secara
pribadi, sampai pada kelompok-kelompok besar dimana
hubungan antara anggotaanggotanya lebih
banyak didasarkan pada kepentingan-kepentingan yang rasional. Dalam
kehidupan kelompok-kelompok tadi seringkali timbul
masalah-masalah mengenai derajat
resminya suatu wewenang yang berlaku di dalamnya.
Seringkali wewenang yang berlaku
dalam kelompok-kelompok kecil tersebut sebagai
wewenang yang tidak resmi oleh karena
sifatnya yang spontan, situasional dan didasarkan pada
faktor saling kenal mengenal, serta
dimana wewenang tersebut tidak diterapkan secara
sitematis. Wewenang tidak resmi
biasanya timbul dalam hubungan-hubungan antar pribadi
yang sifatnya situasional, dan
sifatnya sangat ditentukan fihak-fihak yang saling
berhubungan tadi.
b. Wewenang Resmi
Wewenang resmi sifatnya sistematis, dapat
diperhitungkan dan rasionil, biasanya
wewenang ini dapat dijumpai pad kelompok-kelompok
besar yang memerlukan atauran tata
tertib yang tegas dan bersifat tetap. Di dalam
kelompok-kelompok ini, karena banyaknya
anggota, biasanya ditentukan dengan tegas hak-hak
serta kewajiban-kewajiban para
anggotanya, kedudukan serta peranannya, siapa-siapa
yang menetapkan kebijakan-kebijakan
dan siapa pelaksana-pelaksananya, dan seterusnya.
Walaupun demikian, dalam
kelompokkelompok besar dengan wewenang resmi tersebut, bukan tidak mungkin
timbul wewenang
yang tidak resmi; tidak semuanya dalam kelompok
tersebut dijalankan atas dasar peraturanperaturan resmi yang sengaja dibentuk,
bahkan demi kelancaran suatu perusahaan besar
misalnya, kadangkala prosesnya didasarkankan pada
kebiasaan-kebiasaan atau aturan-aturan
yang tidak resmi. Sebaliknya di dalam
kelompok-kelompok yang kecil mungkin saja ada
usaha-usaha untuk menjadikan wewenang yang tidak resmi
menjadi wewenang resmi, hal
mana biasanya disebabkan oleh terlalu seringnya
terjadi pertentangan-pertentangan dalam
kelompok kecil tersebut, sehingga untuk mempertahankan
keberadaannya, diperlukan aturanaturan yang lebih tegas, tetap, dan
mengikat.
8.3. . Kepentingan Pribadi dan Tempat Tinggal
(teritorial)
a. Wewenang Pribadi
Wewenang pribadi sangat tergantung dari solidaritas
dan rasa keberasamaan yang
tinggi dari
anggota-anggota suatu kelompok; individu
–individu dianggap lebih banyak
memiliki kewajiban-kewajiban daripada hak-hak.
Struktur wewenang bersifat konsentris,
artinya dari satu titik pusat lalu meluas melalui
lingkaran-lingkaran wewenang tertentu.
Setiap lingkaran wewenang dianggap mempunyai kekuasaan
penuh di wilayahnya masing-masing. Apabila bentuk wewenang ini dihubungan
dengan bentuk yang berdasar hukum yang
berlaku, seperti Max Weber, maka wewenang pribadi
lebih didasarkan pada tradisi, dan atau
kharisma.
b. Wewenang Teritorial
Pada wewenang teritorial, maka wilayah tempat tinggal
memegang peranan yang
sangat penting; pada kelompok ini, unsur kebersamaan
cenderung berkurang, oleh karena
desakan-desakan dari faktor individual. Hal ini bukan
berarti bahwa kepentingan-kepentingan
perorangan diakui dalam kerangka
kepentingan-kepentingan bersama. Pada
wewenang
teritorial ada kecenderungan untuk mengadakan
sentralisasi wewenang yang memungkinkan
hubungan yang langsung dengan para warga kelompok.
Walaupun wewenang pribadi dan
wewenang teritorial ini merupakan bentuk wewenangan
dengan substansinya masing-masing,
namun dalam berbagai keadaan kedua bentuk wewenang
tadi dapat saja hidup secaraber
dampingan.
8.4. Lingkup Wewenang
a. Wewenang Terbatas
Wewenang terbatas adalah wewenang yang sifatnya
terbatas, dalam arti tidak
mencakup semua sektor atau bidang kehidupan, akan
tetapi hanya terbatas pada salah satu
sektor atau bidang saja. Misalnya , seorang jaksa di
Indonesia mempunyai wewenang atas
nama negara menuntut seorang warga masyarakat yang
melakukan tindak pidana, akan tetapi
jaksa tersebut tidak berwenang untuk mengadilinya.
b. Wewenang Menyeluruh
Suatu wewenang menyeluruh berarti suatu wewenang yang
tidak dibatasi oleh
bidang-bidang kehidupan tertentu. Suatu contoh adalah,
misalnya bahwa setiap negara
mempunyai wewenang yang mnenyeluruh atau mutlak untuk
mempertahankan kedaulatan
wilayahnya. Jadi, apakah suatu wewenang bersifat
terbatasatau menyeluruh tergantung dari
sudut penglihatan fihak-fihak yang ingin menyorotinya.
Adalah suatu kenyataan pula bahwa
kedua bentuk wewenang tadi dapat berproses secara
berdampingan, diamana pada situasisituasi tertentu salah satu bentuk lebih
berperan daripada bentuk lainnya.
Untuk
menggambarkan fenomena kekuasaan dan wewenang dalam masyarakat secara
utuh, sekurangnya ada dua substansi lagi yang perlu
dikemukakan karena dua keadaan ini
juga turut menentukan keberadaan dari keuasaan dan
wewenang di atas; kedua fenomena itu
adalah : 9. Kepemimpinan (Leadership).
Kepemimpinan adalah suatu fungsi kegiatan-kegiatan
kelompok, merupakan proses
pemenuhan kebutuhan
yang diakui oleh kelompok, dan suatu proses yang mengarah pada
kegiatan-kegiatan kelompok ke tujuan-tujuan yang
dibenarkan oleh kelompok; dengan
demikian kepemimpinan itu menambah stabilitas kelompok
atau dapat juga mengubah
stabilitas kelompok.
Dalam kepemimpinan termuat dua substansi, yaitu kekuasaan dan
wewenang, dan bila kepemimpinan ini diwujudkan dalam
bentuk yang nyata akan melekat
pada figur manusia yang disebut sebagai pemimpin.
Kepemimpinan dapat diartikan sebagi
suatu kemampuan dari seseorang (leader) untuk
mempengaruhi orang lain sebagai fihak yang
dipimpin atau pengikut-pengikutnya, sehingga mereka
bertingkah-laku sebagaimana yang
dikehendaki oleh pemimpin tersebut.
Kepemimpinan
ini dibedakan antara kepemimpinan sebagai kedudukan dan
kepemimpinan sebagai proses sosial; sebagai kedudukan,
kepemimpinan merupakan suatu
kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
dapat dimiliki oleh seseorang atau
suatu badan. Sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan
meliputi segala tindakan yang
dilakukan seseorang atau suatu badan, yang menyebabkan
gerak dari warga masyarakat.
9.1. Bentuk-bentuk kepemimpinan :
Kepemimpinan itu dapat bersifat langsung maupun tidak langsung; kepemimpinan
yang langsung yaitu kepemimpinan yang diwakilkan atau
diwujudkan kepada seseorang yang
memimpin kegiatan-kegiatan orang-orang lain; dan
kepemimpinan yang tidak langsung
berarti suatu bentuk kepemimpinan melalui perantara
obyek-obyek tertentu.
Kepemimpinan
juga dibedakan antara kepemimpinan resmi
(formal leadership)
dengan kepemimpinan yang tidak resmi (informal
leadership) . Kepemimpinan resmi, yaitu
bentuk kepemimpinan yang terwujud dalam suatu jabatan
yang senantiasa harus mengacu
pada landasan-landasan atau peraturan-peraturan resmi,
sehingga dengan demikian daya
cakupnya agak terbatas; sedangkan kepemimpinan yang
tidak resmi mempunyai daya cakup
yang relatif lebih luas dari batas-batas resmi, karena
kepemimpinan tersebut didasarkan atas
pengakuan dan kepercayaan masyarakat. Ukuran
benar-tidaknya suatu kepemimpinan tidak
resmi terletak pada tujuan dan hasil pelaksanaan
kepemimpinan tersebut, yang dianggap
menguntungkan atau merugikan masyarakat. Walaupun
seorang pemimpin yang resmi tidak
boleh menyimpang dari peraturan-peraturan yang ada , akan
tetapi ada kalanya untuk situasi
atau kondisi tertentu dapat juga melakukan suatu
kebijakan yang dianggap perlu dalam
menghadapi masalah-masalah kehidupan orang banyak..
sebaliknya, kepemimpinan yang
tidak resmi dapat pula dipergunakan di dalam suatu
jabatan resmi karena lebih leluasa di
dalam mensikapi peraturan-peraturan resmi, yang
sifatnya lebih mengikat; dalam bidang
yang terakhir ini, maka seorang pemimpin dapat
menggerakkan kekuatan-kekuatan
masyarakat, untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
9.2. Pola-pola
kepemimpinan :
Bila kepemimpinan ini dilihat dari pola, maka ada dua
bentuk kepemimpinan, yaitu
yang berpola
konservatif dan yang berpola
liberal; Kepemimpinan yang konservatif, yaitu
suatu pola kepemimpinan yang relatif mempertahankan
hal-hal yang lama, karena telah diuji
kehandalan dan manfaatnya; yang bila mana pola
tersebut dilekatkan pada seorang
pemimpin, konsekuensinya cenderung selalu menganggap
benar terhadap segala sikap
ataupun tindakan kepemimpinannya, walau sudah tidak
sesuai atau relevan lagi dengan
keadaan masyarakat sekarang .
Kepemimpinan
liberal, yaitu suatu pola kepemimpinan yang mengedepankan
gagasan-gasan baru dan perubahan sosial; yang bila
pola tersebut diterapkan pada seorang
pemimpin, dia dapat mengabaikan arti pentingnya
nilai-nilai yang telah lama berlaku
(established)
9.3. Sifat-sifat Kepemimpinan :
Kepemimpinan otokratis, merupakan bentuk kepemimpinan
yang relatif ditentukan sendiri,
merupakan hukum sendiri, dimana seorang pemimpin disini menguasai
segala-galanya.
Kepemimpinan paternalistis, merupakan bentuk
kepemimpinan yang hampir sama dengan
bentuk otokratis, namun disini seorang pemimpin masih
memerlukan konsultasi dengan
fihak-fihak yang dianggap dapat membantu
permasalahan-permasalan yang dihadapinya;
kebutuhan-kebutuhan dan keinginan orang lain
masihdiperhatikan, namun keputusan
terakhir ada pada tangan seorang pemimpin.
Kepemimpinan demokratis, merupakan bentuk kepemimpinan
yang paling dianggap populer
pada masyarakat yang telah maju, karena pola
kepemimpinannya dianggap lebih aspiratif
dan lebih bisa dipertanggung jawabkan, karena orang
banyak ikut berperan dalam
kebijakan-kebijakan seorang pemimpin.
Kepemimpinan eksekutif, merupakan bentuk kepemimpinan
yang biasanya tampil di
belakang layar, bentuk ini sering tampil sebagai
kelompok kecil atau wakil yang
mendukung seorang pempinan.
10. Birokrasi
Di dalam setiap kehidupan masyarakat manapun, tentu
segenap warga yang ada
sangat menginginkan suatu kepemimpinan yang dapat
berjalan efektif, keadaan ini bisa
terwujud bila antara mereka yang memegang kekuasaan
atau wewenang dengan mereka yang
dipengaruhi terdapat suatu hubungan yang saling
menguntungkan. Dalam kelompok atau
masyarakat kecil, dimana hubungan para
anggota-anggotanya dapat dilakukan secara pribadi
dan langsung, maka hal tentang hubungan ini tidak akan
banyak menemui kesulitan; akan
tetapi pada masyarakat yang lebih besar, maka
penggunaan kekuasaan tidak dapat dilakukan tanpa adanya suatu alat atau media
penghubung yang teratur dan dapat
dipercaya, alat atau
media itullah yang disebut dengan birokrasi
(bureaucracy). Dengan adanya alat
penghubung
ini maka penggunaan kekuasaan dari suatu pusat
pemerintahan, dapat dilakukan dengan lebih
cepat, lebih luas dan lebih merata ; oleh karena itu,
apabila di dalam suatu masyarakat ada
seseorang atau sekelompok orang telah berhasil memusatkan
banyak kekuasaan dalam
tangannya, maka pengaruh dari kekuasaan itu pada
masyarakat umum akan terasa lebih
meningkat dan mengekang dibandingkan dengan masa-masa
terdahulu.
Pengertian
birokrasi menunjuk pada suatu organisasi yang dimaksudkan untuk
mengerahkan tenaga dengan teratur dan terus menerus,
untuk mencapai suatu tujuan tertentu,
atau dengan perkataan lain, menurut seornag ahli
Sosiologi Eropa, Lewis A. Coser,
dikatakan bahwa birokrasi itu organisasi yang bersifat
hierarkis yang ditetapkan secara
rasional untuk mengkoordinir pekerjaan orang-orang
untuk kepentingan pelaksanaan tugastugas administratif.
Dalam hal ini
Sosiologi tidak memandang birokrasi itu sebagai saluran yang sifatnya
kondusif atau menghambat perputaran roda pemerintahan,
disini Sosiologi bersikap netral
dimana ia hanya menggambarkan suatu fenomena saja.
Bentuk penolakan dari keberlakuan
birokrasi biasanya disebut dengan istilah
bureaucratism atau birokratis, keberadaan birokrasi
dianggap menghambat saluran pemerintahan dan
menyimpang dari tujuan, keadaan ini
disebut sebagai
red tape. Makna pokok dari
pengertian birokrasi adalah pada kenyataan
bahwa organisasi tersebut menghimpun tenaga-tenaga
demi jalannya organisasi yang
bersangkutan, dengan tidak terlalu menekankan pada
tujuan-tujuan pokok yang hendak di
capai oraganisasi itu.
Soerjono Soekanto menggambarkan bahwa sekurangnya
birokrasi itu mencakup lima unsur
penting, yaitu :
10.1. Organisasi
Organisasi merupakan satu cara untuk mengumpulkan
tenaga serta membagi-bagikan
kekuasaan dan wewenang di dalam pengumpulan tenaga
tersebut; dan apabila dilihat dari
pembagian kekuasaan tersebut, maka di dalam suatu
organisasi terdapat :
a. penguasa dan
mereka yang dikuasai
b. hierarki, yaitu urutan-urutan kekuasaan secara
vertikal atau bertingkat dari atas ke
bawah
c. ada pembagian tugas yang horisontal, yaitu
pembagian tugas antara beberapa bagian,
dimana bagian-bagian tersebut mempunyai kekuasaan dan
wewenang yang setingkat
atau sederajat, d. ada suatu kelompok sosial.
Suatu pembagian kekuasaan yang vertikal adalah
urutan-urutan dari kepala, wakil
kepala, sekertaris dan seterusnya sampai pegawai
rendahan; itu semua merupakan saluran
yang membawa perintah dari atas ke bawah, akan tetapi
juga merupakan saluran untuk
membawa keinginan –keinginan dari bawah ke atas,
saluran ini merupakan jalur lalu lintas
dari dua arah (two way traffic).
Pembagian
kekuasaan yang horisontal tidak menyebabkan perbedaan tingkat
kedudukan, akan tetapi lebih ditekankan pada pembagian
kekuasaan dan wewenang secara
mendatar yang terutama dilandaskan pada pembagian kerja dan spesialisasi. Setiap bagian
dari pembagian kerja dan spesialisasi dalm
melaksanakan tugas-tugasnya dikoordinir oleh
kedudukan yang lebih tinggi derajatnya dan demikian
seterusnya dari atas.
Di dalam
organisasi tersebut ada unsur pimpinan dan ada yang dipimpin; pemimpin
mungkin ada pada diri seseorang atau sekelompok orang.
Orang-orang yang ada dalam suatu
organisasi merasa dirinya sebagai bagian dari kesatuan
tersebut, dan bagi mereka yang telah
tersedia peraturan-peraturan tertentu, yang hanya berlaku bagi anggota-anggotanya. Karena
itu, maka kesemuanya sebagai suatu kesatuan disebut
suatu kelompok sosial.
10.2. Pengerahan tenaga
Pengerahan tenaga dimaksudkan sebagai pengaturan
tenaga-tenaga secara
organisatoris untuk melaksanakan suatu tugas tertentu;
tenaga disini meliputi baik tenaga
kasar, yaitu meliputi tenaga-tenaga fisik yang
mengandalkan pada keterampilan tangan,
maupun tenaga ahli, yaitu tenaga-tenaga nonfisik yang
lebih menggunakan tenaga fikiran.
10.3. Sifatnya yang teratur
Teratur disini berarti aktifitasnya berlandaskan pada
tata tertib tertentu atau atas dasar
peraturan-peraturan tertentu; dalam tertib ini maka
seseorang sadar akan kedudukannya di
dalam suatu lingkungan pekerjaan, hubungan kerja
dengan bagian-bagian lain, beserta
tanggung jawabnya.
10.4. Bersifat terus menerus
Disamping harus adanya peraturan-peraturan yang
formal, hal tentang disiplin kerja
juga harus mendapat perhatian penting, yaitu berupa
ketaatan untuk menjalankan pekerjaan
sebagaimana yang telah ditetapkan. Ada kalanya
peraturan-peraturan formil belum ada,
namun disiplin kerja harus sudah ada; pengerahan
tenaga kerja ini harus berlaku secara terus
menerus
10.5. Mempunyai tujuan
Birokrasi merupakan suatu organisasi di dalam
masyarakat, demikian kata Max
Weber, oleh karena itu maka birokrasi tidak boleh
menyimpang daripada dasar-dasar
kehidupan yang telah ditentukan; keberadaan birokrasi
tentu tidak lepas dari tujuan-tujuan,
dan untuk sampai pada harapan-harapan itu roda
keberjalanan suatu birokrasi harus sesuai
dengan tujuan yang semula.
Dalam
pandangannya tentang birokrasi, Max Weber sebenarnya khawatir akan akibatakibat
perkembangan birokrasi yang sangat pesat pada dewasa ini; setiap petugas
mendapatkan tempat tertentu yang tetap, sebagai mana
ibaratnya manusia adalah sebuah roda
bergigi dalam sebuah mesin, apabila manusia tersebut
telah sadar akan kedudukannya, maka
dia akan berusaha untuk menjadi roda sebuah mesin.
Gejala tersebut disebabkan karena
manusia terlalu terikat oleh adanya suatu tata-tertib,
sehingga manakala tata-tertib itu
terabaikan atau bahkan tidak ada karena
perubahan-perubahan dalam masyarakat, maka dia
tidak tahu lagi bentuk apa yang akan dijadikan dasar
pegangannya.
Daftar Bacaan
Grusky, David B.ed. (1994). Social Stratification, Class, Race And
Gender; Boulder-San
Fransisco-Oxford: Westview Press.
Horton, Paul B.- Hunt, Chester L. (1992).
Sosiologi, (terj.). edisi keenam,
Jakarta: Penerbit
Erlangga
Johnson, Doyle Paul. (1986). Teori Sosiologi Klasik
Dan Modern, terj. Jilid 1 – 2. Jakarta:
PT Gramedia Indonesia
Nasikun. (1993). Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada
Sanderson, (2000) Sosiologi Macro, Sebuah Pendekatan
Terhadap Realitas Sosial; Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada
Soekanto, Soerjono. (1998). Sosiologi Suatu Pengantar; Jakarta: Yayasan
Penerbit
Universitas Indonesia.
Soekanto, Soerjono.
(1983). Beberapa Teori Sosiologi Tentang Sturktur Sosial, Jakarta: CV
Rajawali.
Soemardjan, Selo-Soemardi, (1974). Setangkai Bunga
Sosiologi; Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar