Mari Berusaha, Berdo'a Kemudian Tawakal

Saya Hanya Manusia Biasa

Kamis, 26 Juli 2012

Loyalitas

Smangat
Loyalitas
Pernah punya pengalaman kerja part time di satu kantor, 1 karyawannya dengan bangganya cerita, �Oh kalo diterima kerja di sini tu susah lho. Harus melewati berbagai tes, tes psikologi, tes intelegensi, dll, dll...�

Tapi saat ketemu karyawan-karyawan lain di sana (termasuk yang ngomong tentang tes tsb), tidak ada satupun yang punya �loyalitas� untuk berkontribusi dalam pekerjaan mereka. Betul semuanya �betah� kerja di kantor itu. Ada yang sampai puluhan tahun kerja. Tapi mereka datang ke kantor seperti robot. Ngisi absen, kerja secukupnya, jam pulang kerja, langsung cabut. Setiap kali ada critical matter, gak ada sense of urgency. Sudah dicap URGENT, juga gak ngaruh tu. Musti berkali-kali disamperin & diingetin padahal kerjaan saya pun di meja bertumpuk-tumpuk. Saya yang hanya kerja part time saja, berusaha berkontribusi karena kan saya terima gaji di kantor itu. It�s a matter of answering responsibility to myself. 

Jadi apa si loyalitas itu? Tiap wawancara dengan HRD, mereka selalu comment dengan history kerja saya yang �doyan� pindah-pindah kantor. Buat saya loyalitas adalah bekerja 100% berkontribusi. Kalau ada deadline ya berusaha untuk memenuhinya. Menyelesaikan semua tanggung jawab dengan penuh tanggung jawab... Kalau saya bosan dan tidak lagi bisa berkontribusi, ya sah-sah saja kalau saya pindah.. Kecuali Perusahaan itu mau menawarkan posisi lebih tinggi dan lebih challenging. Baru saya stay... For me that�s the meaning of loyality...

heheh:):)

Anak Jalanan (Pengamen)

Smangat

Mereka (Anak-anak) Masih Terjajah!

Tidak seharusnya generasi penerus bangsa ini, merasakan kerasnya kehidupan jalanan ibu kota. Bagi sebagian orang tua, pendidikan dasar untuk anak jalanan bukan menjadi prioritas.
Akibatnya, banyak anak jalanan putus sekolah. Anak jalanan sangat mudah kita jumpai tak terkecuali di kota-kota besar. Mereka pun kerap menjadi eksploitasi orang-orang yang seharusnya melindungi dengan alasan himpitan ekonomi .
Data pemerintah tahun 2011 menunjukan, dari 6,5 juta kasus kekerasan terhadap anak, lebih dari 1,7 juta merupakan kasus eksploitasi anak. Sayangnya pemerintah hanya mampu menangani 1000 kasus pertahunnya. Permasalahan anak bukan hanya terjadi di Jakarta, namun di kota-kota besar lainya.
Berbagai permasalahan anak yang terjadi di Indonesia, menunjukan kurangnya peran pemerintah untuk melindungi anak Indonesia dari kekerasan. Padahal, perlindungan terhadap anak sudah jelas diatur dalam Undang-Undang No 23 tahun 2002. Selain itu kita telah memiliki KPAI, KOMNAS Anak, Kementerian Sosial, namun mengapa permasalahan anak tak juga kunjung usai.
Permasalahan ekonomi, paling banyak melatarbelakangi kasus kekerasan pada anak. Bahkan balita kini menjadi objek untuk mendapatkan rupiah. Banyak para orang tua membawa serta anaknya ke jalanan, mereka membawa anakanya mengamen untuk alasan tertentu. Tak seharusnya anak-anak ini menghirup pekatnya udara dari kemacetan lalu lintas kota Jakarta.
Pendapatan dari mengamen, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Latar belakang pendidikan yang hanya sampai sekolah dasar, membuat mereka tak punya banyak pilihan pekerjaan. Membawa serta anak bekerja di jalan seolah mendidik mereka menjadi anak jalanan.
Para orang tua dari anak jalan, lebih memilih membiarkan anak-anak berkeliaran dijalan demi mendapatkan uang. Namun dibalik itu, semua para orang tua benar-benar terpaksa dengan berbagai alasan. Pada periode tahun 2010-2011 berbagai permasalahan anak muncul dan terus bertambah, mereka terjerat masalah pendidikan, kesehatan, hukum, hingga narkoba. Lalu tak cukup kuatkah hukum negeri ini untuk melindungi anak indonesia .
Negara kita memiliki sejumlah  Peraturan dan Undang-Undang yang dengan jelas melindungi generasi bangsa. UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, juga UUD  1945 yang dengan jelas menyebutkan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara .
Lalu mengapa permasalahan anak tak juga dapat diselesaikan, anak jalanan tidak terlepas dari persoalan perekonomian bangsa ini. Dibutuhkan kerja cerdas untuk menyelesaikan atau setidaknya mengurangi permasalahan anak.
Rasa keadilan ternyata juga belum berpihak pada anak-anak Indonesia. Apa gunanya jika program pemberdayaan anak  tidak ditunjang dengan anggran yang cukup. Yang jelas pemerintah dituntut untuk lebih aktif menyelesaikan permasalahan anak indonesia.
Penulis: Yery Wahyudi / Foto: Google.com
Editor: Frieska M.

Belajar Menjadi Miskin (Jalanan)

Smangat
Belajar Menjadi Miskin

Oscar Lewis, seorang antropolog, mengungkapkan bahwa masalah kemiskinan bukanlah masalah ekonomi, bukan pula masalah ketergantungan antar negara atau masalah pertentangan kelas. Memang hal-hal tadi dapat dan merupakan penyebab kemiskinan itu sendiri tetapi menurut Lewis, kemiskinan itu sendiri adalah budaya atau sebuah cara hidup. Dengan demikian karena kebudayaan adalah sesuatu yang diperoleh dengan belajar dan sifatnya selalu diturunkan kepada generasi selanjutnya maka kemiskinan menjadi lestari di dalam masyarakat yang berkebudayaan kemiskinan karena pola-pola sosialisasi, yang sebagian besar berlaku dalam kehidupan keluarga. (Kisah Lima Keluarga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1988). Kebudayaan kemiskinan bukanlah monopoli mereka yang secara ekonomi tidak memiliki sumber-sumber produksi, distribusi benda-benda, dan jasa ekonomi. Kebudayaan kemiskinan juga dimiliki mereka yang oleh kita dianggap kaya atau bermodal. Dalam cakupan budaya kemiskinan beberapa hal dapat menunjukkan keberadaannya seperti meliputi tingkah laku kasar dalam keluarga yang selalu menjadi masalah mereka yang miskin, perasaan tidak puas atau tidak enak yang berkelanjutan, kurangnya cinta kasih, retaknya nilai-nilai moral dan etika, serta ketiadaan akses kepada kapital alias modal. Hal-hal ini dapat terjadi dalam kelaurga kaya sekalipun. Pada intinya walaupun sebuah keluarga atau masyarakat dianggap kaya tetapi jika gaya hidup dan cara hidupnya menunjukkan ciri-ciri kemiskinan maka mereka "mengidap" apa yang disebut kebudayaan kemiskinan.

Jadi walaupun sudah kaya raya tetapi ternyata seorang teman masih saja tidak bisa melepaskan berbagai cara kekerasan yang dilakukan bapaknya dulu ketika mendidik dia dan saudara-sudaranya. Dia bilang "Wah seperti refleks mas Wiji, saya itu tidak ingin dan tahu berkata kasar serta mencambuk anak itu tidak baik tapi saya lakukan juga, sepertinya tidak ada pilihan lain untuk mendisiplinkan anak saya itu." Atau beberapa tingkah orang kaya baru yang kadang norak dan aneh-aneh nampaknya juga menunjukkan perasaan tidak enak, tidak nyaman, dan tidak puas yang berkelanjutan.

Kata para ahli, apa yang disebut cara hidup miskin ini merupakan "penyakit" hampir di semua belahan bumi yang menurut ukuran negeri kapitalis (maju) adalah negeri yang sedang berkembang atau miskin?padahal bisa jadi kalau diukur kekayaan alamnya bisa lebih kaya. Negara-negara yang biasanya pernah dijajah dan mengalami benturan budaya karena terkejut dan tidak bisa menerima kemajuan teknologi. Di satu sisi beberapa negara ini masih memiliki kebudayaan petani yang kental tetapi tiba-tiba juga harus menghadapi kebudayaan material yang diusung oleh negara kapitalis tersebut dan menguasai hampir semua lini kehidupan. Jadi kemiskinan di sini dilanggengkan karena secara langsung ataupun tidak langsung dipelajari dan dipraktekkan cara hidupnya oleh masyarakat pendukungnya. Sekolah di mana saya bekerja rupanya menjadi bagian dari lembaga yang melanggengkan hal tersebut. Pada masa sekitar tahun 60-80-an sekolah ini merupakan sekolah yang cukup berjaya. Gaji gurunya melebihi gaji pegawai negeri pada masa itu. Ditawari menjadi pegawai negeri guru-guru tersebut tidak mau. Bahkan dengan bangga mereka bisa memamerkan sepeda pemberian dari Yayasan Pusat yang belum tentu dapat diperoleh pegawai negeri saat itu. Sekilas sepertinya sekolah ini maju pesat. Tetapi ternyata semua itu terjadi karena ada dukungan dana dari Belanda untuk operasionalisasi semua kegiatan disekolah ini.

Sekolah hampir tidak mengadakan pembaharuan ataupun rencana-rencana untuk masa depan. Yang kemudian terjadi adalah rebutan rejeki sehingga sebisa mungkin saudara ataupun teman menjadi bagian dari Pengurus Yayasan ataupun Guru di sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan Yayasan Pengelola. Dapat ditebak situasinya adalah situasi aman karena mendapat sokongan. Tidak ada budaya berusaha, tetapi seperti sebuah involusi, dana bantuan yang harusnya dikembangkan itu malah dibuat supaya dapat menghidupi banyak sekali para kolega maupun saudara. Seperti sepetak sawah yang kemudian dikerjakan oleh banyak orang hanya supaya semua orang kebagian rejeki. Sebuah cara hidup miskin karena ketiadaan sumber produksi dan ketiadaan pengetahuan mengelola sumber produksi maka apa yang ada dimaksimalkan dengan cara di buat "padat karya". Jelas hal ini akan menjauhkan kita dari kemajuan. Ketika traktor berperan habislah model pertanian ini.

Kembali ke sekolah tadi. Dalam situasi seperti ini jelas anak-anak sadar atau tidak sadar diajak untuk belajar menjadi miskin. Mereka selalu melihat bahwa saudara-saudara Guru mereka yang lebih berperan dan Guru-guru juga selalu menekankan bahwa kekayaan sepertinya adalah sebuah wahyu bukan karena usaha. Sisa-sisa pengajaran mereka itu masih dapat dilihat sampai sekarang. Seorang Guru berkata "Nasib Mas Wiji, dulu kita jaya sekarang terpuruk." Kepada murid-murid dia berkata, "Kamu belajar yang rajin, dan nanti kalau nasibmu baik jangan lupa kepada sekolah ini". Jadi nasib baik saja yang menentukan. Nasib baik siapa tahu mendapat donatur lagi atau menjadi kaya. Arogansi ketika mereka merasa lebih baik dari pegawai negeri juga membuat keinginan maju tidak ada. Maka gaya mengajar dan juga situasinya minimalis sekali. Miskin kreatifitas. Yang ada rutinitas.

Datanglah badai itu. Bantuan dari Belanda karena permasalahan politik dihentikan sama sekali. Guru-guru dan pengurus yang tadinya bergelimang korupsi menjadi kalang kabut karena mereka harus menghidupi diri sendiri sementara saingan menjamur di mana-mana. Hampir tidak mungkin mereka menaikkan uang sekolah untuk menyokong pendidikan di sekolah itu karena sekolah negeri dengan mutu sama bisa lebih murah. Sentimen SARA makin menghambat laju sekolah ini. Akhirnya sang Kepala Sekolah berujar "Nasib kita memang sedang tidak baik, Tuhan sedang menguji kita." Ujian ini ternyata berjalan lama. Satu persatu aset sekolah tidak dapat digunakan dan satu-persatu sekolah-sekolah dari Yayasan ini ditutup sampai akhirnya tinggal satu sekolah?yang saat ini bekerja sama dengan tempat kerja saya. Keadaan ini makin diperburuk dengan saling menjatuhkan antar pengurus dan juga antar guru. Berebut aset yang sebenarnya tidak seberapa.

Lalu mengapa satu sekolah itu bisa bertahan? Jawabnya juga karena mereka melakukan strategi kemiskinan. Kalau melihat keseharian Guru yang sudah lama dan tetap bertahan, saat ini mereka sebenarnya sudah mencapai taraf kemakmuran secara individu. Bisa dilihat dari rumah mereka yang pasti berbata dan anak-anak mereka yang bisa berkuliah?kebanyakan di Universitas swasta pula. Satu hal yang dulu sulit dilakukan Guru-guru negeri. Memang Guru-guru itu juga memiliki usaha lain dalam bidang pertanian?sebagai dampak "pembagian" dana donasi dulu sehingga mereka bisa memiliki akses sumber-sumber produksi.

Tetapi untuk memajukan sekolah sekali lagi yang dipakai adalah strategi kemiskinan. Rupanya sekolah itu di buat menjadi kelihatan semiskin mungkin. Kalau Anda pertama kali ke sana anda akan menjumpai sekolah yang tak terawat sama sekali dengan alsan tidak ada dana untuk perawatan. Buku hampir tidak ada. Penjaga sekolah tidak melakukan tugasnya sama sekali. Atap bocor, alat peraga tidak ada, dapur jadi satu dengan kantor, dan wc tidak ada airnya. Alasannya sekali lagi tidak ada uang. Lambat laun saya tahu kalau setiap tahun ada dana dari pemerintah untuk operasional sekolah. Bantuan alat peraga juga ada. Dan berbagai donatur silih berganti membantu sekolah ini. Lalu ke mana dana-dana bantuan tersebut? Usut punya usut dana-dana tersebut selalu dibagi rata untuk Guru-guru yang telah terbiasa mendapatkan dana lebih baik dari pegawai negeri. Ketika bantuan tidak ada dan krisis moneter menghantam mereka menjadi pihak yang secara ekonomi miskin dan tidak punya akses produksi serta kapital lagi.

Lambat laun, berbagai alat peraga bantuan pemerintah saya temukan. Ada yang disimpan di rumah penduduk dan ada pula yang disimpan di rumah penjaga sekolah. Saya hanya geleng-geleng kepala melihat hal ini. Beberapa dokumen dipalsukan hanya agar beberapa Guru memperoleh insentif dari pemerintah. Maka ketika beberpa perubahan kami lakukan kata yang pertama keluar dari Kepala sekolah "Lebih baik tidak dibantu Mas, dibantu kita tidak dapat apa-apa." Dengan kondisi pemiskinan tadi sudah barang tentu budaya kemiskinan tertanam baik dalam benak dan pikiran anak-anak. Semuanya serba minimalis dan bahkan dibuat tidak ada sama sekali. Sampai-sampai dana beasiswa tidak sepenuhnya digunakan untuk anak-anak. Sempurna kan? Miskinnya maksdunya.

Dengan memiskinkan diri itulah maka sekolah selalu terlihat membutuhkan bantuan dan berbagai bantuan dari orang yang kasihan mengalir ke sekolah. Padahal kalau dipikir hanya sedikit yang akan didapat dari metode miskin ini. Sama sekali tidak terpikir oleh Guru-guru itu untuk membuat terobosan dengan memajukan sekolah dan mengolah sumber yanga ada disekolah untuk kemajuan sekolah. Budaya kemiskinan telah mengajari mereka dengan hanya mengulurkan tangan seperti pengemis maka dana akan mengalir. Alasannya selalu saja ini: tidak ada yang memikirkan, Yayasan tidak melakukan apa-apa?ya mereka bertengkar terus, dan tidak ada uang. Tapi ketika mendapat uang terus digunakan untuk hal yang tidak benar bahkan untuk rebutan.

Budaya kemiskinan jelas telah menggerogoti banyak segi dalam kehidupan bangsa ini. Bahkan terlembagakan dengan jeniusnya disekolah. Di beberapa sekolah negeri saya melihat praktek-praktek pemiskinan tersebut juga berlangsung. Dana insentif untuk Guru honorer masih saja dipotong dan dibagi rata kepada Guru yang seharusnya tidak menerima. Pemerataan katanya. Membentak dan menjewer adalah hal biasa juga dalam keseharian di sekolah. Dalam kehidupan sehari-hari kemiskinan adalah bagian dari kita dan berbagai cara korupsi serta kekerasan di negara ini adalah merupakan bukti nyata adanya kebudayaan kemiskinan tersebut. Bukti juga kalau bangsa kita?paling tidak dilingkungan saya bekerja?masih terjajah. Beberapa waktu lalu saya membaca di sebuah harian Nasional?saya lupa tanggalnya?negara kita ini mungkin memang hanya akan bisa maju kalau terjajah karena mentalnya memang mental miskin dan terjajah. Bagaimana, masih mau terjajah atau mau maju?
By: 
http://balasoka.blogspot.com

My Illustration Applicative Class

Smangat

almost finish

Wew.. Ga kerasa udah mau beres lagi semester ini.. Dan kelas ilustrasi aplikatif yang autis ini akan segera berakhir.. *udah denk, tinggal pengumpulan sketsa T^T

Tugas ketiga dari ilustrasi aplikatif adalah *jreng jreng* PUPPET SHOW, yang ternyata membawa kebahagiaan di kelas (bagi saya sih iya, bagaimana dengan kalian? :D )
Jadi di kelas ilustrasi aplikatif, karena tidak 8 orang (ehemm, ada 1 orang lg sih tapi dia special), jadi dibagi 2 kelompok yang masing-masing beranggotakan 4 orang. Kelompok saya terdiri dari Jessica, Eunike, Christine dan tentu saja saya. Kelompok lainnya terdiri dari Okky, Sheani, Angga, dan Daniel / David.
Kelompok saya memilih cerita fabel tentang cerita klasik lomba lari kelinci dan kura2 sedangkan kelompoknya Okky tentang anak singa yang dibesarkan di tengah kawanan domba.

Selain membuat boneka sendiri dari kertas koran dan selotip kertas, puppet show kelompok saya juga tidak memakai dialog. Jandi pantonim istilahnya mah.. Hehehe.. :D
Dari masalah pembuatan panggung, bikin cerita, pembuatan bonekanya sendiri, latihan pentasnya, fyuh, satu bulan setengah yang penuh dengan perjuangan yang berujung manis ketika pertunjukan.. Berkesan bangetlah.. XD

aaa~ ga bisa diungkapkan dengan kata-kata~~~

udah lewat tapi kesannya ntu lohhh, masih ada mpe sekarang T^T

btw, ini beberapa proses yang berhasil dicapture oleh kamera saya *aka pas inget :D

*ketika ruangan masih berantakan (loh?)*
 *ini siput dan kura-kura dan stok cemilan

*ini tangan atas kelinci atau paha (nyam?)

*penyiksaan*
 *kepala kelinci dan tangan kelinci yang sudah dicat dan sedang dipilox*
*kepala kelinci detail*
*ketika kepala kelinci dan badan kura-kura bersatu, hihihi*

Dan ketika pentas hari H, pada hari Rabu tanggal 6 Juni 2012. :D
*salah satu adegan*
*my team, Jessica and Eunike*
*all of my team and the head of the autisme*
*kelompoknya Okky*
*my illustration applicative class ^^*So, this is some video~
come to www.youtube.com/watch?v=vHziiHFbT4U to watch mine team puppet show~
and come to www.youtube.com/watch?v=Nn65GKXMYMc to watch Okky puppet show~

 Enjoy~~ :D

PAPUA SEPERTI NEGERI TERJAJAH

Smangat

PAPUA SEPERTI NEGERI TERJAJAH
situs-berita-terbaru.blogspot.com - Papua Seperti Negeri Terjajah
Jakarta- Maraknya penembakan dan aksi kekerasan di Papua membuat warga pulau paling timur Indonesia ini terus dilanda ketakutan dan kecemasan. Keamanan seperti sudah menjadi barang mahal di provinsi ini."Seakan-akan dalam daerah jajahan. Saya melihat pemerintah sudah melakukan pembiaran kejahatan di Papua, elemen di TNI sudah melakukan pembiaran di Papua," kata intelektual muda Papua, Natalis Pigay dalam diskusi Polemik Sindo Radio di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat,  Sabtu (16/6/2012). 
Natalis pun memohon kepada Komisi I DPR untuk mendorong pemerintah agar tidak melakukan pembiaran. Sehingga warga Papua tetap bisa hidup layak sebagaimana 
dirasakan masyarakat Indonesia di daerah lain.

Film Bernilai Budaya Lokal

Smangat
Film Bernilai Budaya Lokal

SURABAYA, KABARWARTA - Dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke- 56, Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) Jawa Timur merayakan hari jadinya disalah satu station TV di Surabaya. Dihadiri anggota Parfi jatim sebanyak 150 anggota, acara bertajuk “Masih Rindu”, bertujuan untuk  menjalin kembali tali silahturahmi untuk menjaga kerukunan dan tali persaudaraan anggota- anggota Parfi. 

                                            
Wira Lina selaku Ketua Parfi Jatim menjelaskan, selain melatih SDM artis Parfi dengan pelatihan-pelatihan akting, progres kedepannya banyak yang akan dilakukan oleh parfi, diantaranya dalam proses pembuatan film dokumenter di Mojokerto, yakni Purnama di Bumi Mojopahit. “Untuk film dokumenter ini, sudah selesai penggarapannya, semuanya artis lokal dan tema yang diangkat juga budaya local, hanya tinggal tunggu tayang”, aku Wira, Selasa (20/3/2012).

Selain film tersebut, Parfi dalam waktu dekat akan menggarap film horor layar lebar “Ciuman Berdarah”yang mengangkat budaya Jawa Timur yaitu Reog Ponorogo. Bagi Wira, dua film tersebut memang dikususkan untuk mengangkat nilai-nilai budaya lokal khususnya dari Jawa Timur. Sebab, saat ini banyak film yang bermunculan, namun sutradara tidak mencatumkan budaya lokal asli Indonesia. 

“Kita lihat saja, film-film sekarang banyak nuansa yang memamerkan kemolekan tubuh dengan pakaian minim. Padahal, kalau untuk pakaian minim, bisa saja diangkat dari budaya lokal seperti orang pakai jarik atau sewek. Nah, itulah generasi sekarang tidak tahu budaya lokal. Yang tahu hanya kemolekan tubuh saja”, lanjut perempuan yang pernah tampil dalam film Dewi Sartika. (rhy)http://kabarwarta.com